Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Tengkleng, Kuliner Rakyat yang Naik Kelas

12 Februari 2025   19:42 Diperbarui: 12 Februari 2025   23:59 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tengkleng yang menggairahkan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Oleh: Hadi Tanuji

Sebagai pecinta daging, saya selalu tertarik mencoba berbagai olahan daging khas Nusantara. Dari asem-asem khas Purwodadi, pindang tulang, rawon, soto daging, hingga tongseng dan gulai, semuanya sudah pernah saya cicipi. Namun, ada satu hidangan yang masih terus membuat saya penasaran: tengkleng. Dari cerita yang beredar, Solo adalah tempat terbaik untuk mencicipi tengkleng enak. Beberapa warung terkenal disebut-sebut menyajikan tengkleng yang luar biasa, dan saya bertekad untuk mencobanya satu per satu. Perjalanan saya berburu tengkleng di Solo pun dimulai pada Sabtu, 8 Februari. Kebetulan saya ada acara di Solo, bareng rombongan. Jadi sekalian mampir untuk incip-incip.

Rombongan sedang menunggu tengkleng dihidangkan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Rombongan sedang menunggu tengkleng dihidangkan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sejarah Tengkleng, Dari Rakyat Jelata ke Kuliner Bergengsi

Tengkleng merupakan masakan berbahan dasar tulang kambing dengan sedikit daging yang masih menempel. Dimasak dalam kuah berbumbu rempah, rasanya mirip gulai, tetapi lebih encer dan segar. Sejarah mencatat bahwa tengkleng berasal dari masa kolonial. Pada zaman itu, daging kambing adalah makanan mewah yang hanya bisa dinikmati orang-orang Belanda dan priyayi. Para pekerja pribumi hanya kebagian bagian-bagian yang tidak diinginkan, seperti tulang dan jeroan. Dari keterbatasan itu, lahirlah tengkleng---masakan yang memanfaatkan tulang dan sedikit daging yang tersisa.

Namun, seiring berjalannya waktu, Tengkleng yang dulu dianggap sebagai makanan rakyat kecil kini justru menjadi kuliner eksklusif. Harga satu porsi tengkleng tidak bisa dibilang murah, dan peminatnya datang dari berbagai kalangan, termasuk para pecinta kuliner kelas atas. Maaf buat para suhu, harga tengkleng mungkin masih terjangkau, tapi bagi kami rakyat jelata, harga tengkleng yang mencapai 40 ribu rupiah (belum nasi) tentu saja menjadi sajian mewah yang tidak bisa saya nikmati setiap hari hehehe. Tengkleng yang dulunya dibuat karena keterpaksaan, kini menjadi salah satu ikon kuliner Solo yang diburu oleh banyak orang.

Pengalaman Pertama: Tengkleng Solo Bu Jito Dlidir

Saya berangkat dari Purwodadi sekitar pukul 10.30 pagi. Rombongan. Ada pak Danang Kuswardono (teman dosen), pak Jati Purnomo (Rektor ITB-MG) dan pak Rosyidi (Ketua PDM Grobogan yang juga Ketua BPH ITB-MG). Kebetulan juga pak Danang dan pak Rosyidi ini juga penghobi kuliner, sama seperti saya. Perjalanan ke Solo berjalan lancar, dan kami tiba tepat saat waktu makan siang. Tujuan pertama berburu Tengkleng adalah Warung Tengkleng Solo Bu Jito Dlidir, karena warung ini lokasinya berada di jalan yang kami lewati. Begitu masuk, aroma khas rempah langsung menggugah selera.

Warung Tengkleng Solo Bu Jito Dlidir (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Warung Tengkleng Solo Bu Jito Dlidir (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Saat pesanan datang, saya langsung bersemangat. Tampilan dan aromanya saja sudah bikin ngiler. Tengklengnya disajikan dalam mangkuk yang penuh dengan tulang-tulang kambing yang masih berbalut sedikit daging. Kuahnya bening kekuningan, dengan aroma rempah yang kuat. Saat saya menyeruput kuahnya, rasa gurih, pedas, dan segarnya langsung memenuhi lidah. Tidak seperti gulai yang cenderung kental, kuah tengkleng ini lebih ringan, sehingga tidak membuat enek.

Daging yang menempel di tulangnya empuk dan mudah lepas saat digigit. Bahkan bagian sumsum dalam tulang pun terasa begitu nikmat ketika diseruput. Sensasi menikmati tengkleng ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga pengalaman menyantapnya. Saya harus menggunakan tangan untuk memegang tulang dan menikmati dagingnya sampai ke bagian terdalam. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menikmati tengkleng selain seperti ini. Saya dan teman-teman akhirnya asyik sendiri-sendiri karena sibuk dengan tengkleng yang sudah tersaji. Nikmatnya,,, bikin nagih. Dalam hati, saya telah menguatkan diri untuk nyoba tengkleng di tempat lainnya heheheh.

Kontradiksi: Tengkleng yang Kini Digemari Semua Kalangan

Hal yang menarik dari tengkleng bukan hanya cita rasanya, tetapi juga pergeseran statusnya. Tengkleng yang dulu dianggap makanan rakyat kini menjadi kuliner yang digemari semua kalangan. Bahkan, banyak orang kaya yang rela antre demi mencicipi tengkleng legendaris di Solo. Ironisnya, harga satu porsi tengkleng sekarang bisa dibilang cukup mahal. Makanan yang dulunya dibuat dari sisa-sisa daging kini menjadi hidangan istimewa dengan harga premium. Catatan, premium bagi rakyat biasa hhh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun