Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Serunya Menulis di Kompasiana; Pernah Nyaris Dihajar Preman, Hingga Kampanye "Anti Amplop" di Pokja Wartawan

19 November 2016   22:36 Diperbarui: 19 November 2016   23:10 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir Desember nanti, genap enam tahun Kompasiana jadi bagian dalam keseharian saya. Selama masa itu, ada banyak kisah terjadi. Berawal dari sekadar penasaran, ikut-ikutan teman bikin akun. Lalu, coba menulis satu dua tulisan. Berasa senang ketika tulisan jadi headline. Hingga, tumbuh semacam “desakan diri sendiri” untuk bisa posting tulisan setiap hari. Desakan yang masih bertahan hingga kini.

One Day One Article. Begitu ujar kawan-kawan hebat di Kompasiana ini untuk mengistilahkan ke-istiqomah-an dalam menulis. Meski ternyata itu susah (pakai banget). Sebenarnya, saban hari ada banyak ide menulis yang ingin diposting. Tapi apa daya, waktu yang tersita untuk bekerja dan ketika nyampe rumah tinggal capek nya, membuat ide-ide itu lenyap. Beberapa saja bisa berwujud tulisan. Itupula yang membuat tulisan saya belum nyampe 300 artikel. Malu rasanya melihat kawan-kawan Kompasiana yang bergabungnya setelah saya, tapi tulisannya sudah di atas 500 artikel. Bahkan, ada yang lebih 1000 tulisan Ah, malas sekali saya ini.

Tetapi, bergabung di Kompasiana bukan melulu soal hasil tulisan. Ada banyak hal menarik yang muncul baik dalam proses pembuatan tulisan, maupun efek dari tulisan yang saya buat. Malahan, untuk menghasilkan tulisan di Kompasiana, proses nya terkadang lebih menegangkan dibanding ketika jadi wartawan--profesi yang saya tinggalkan sejak April 2013 silam. Juga, imbas dari tulisan yang saya posting di Kompasiana, efek nya tak kalah dashyat dibanding tulisan di media mainstream.

Kisah-kisah itu yang bagi saya jadi momen terbaik selama bergabung di Kompasiana. Bahwa momen terbaik tidak selalu berupa kabar menyenangkan seperti ketika tulisan jadi HL dan dibaca ribuan orang ataupun kala memenangi blog competition. Momen terbaik juga bisa berupa pengalaman tak terlupakan. Cerita-cerita itu yang ingin saya sampaikan di tulisan ini.

1.Nyaris Dihajar Preman

Cerita ini terjadi pada awal 2015 silam. Kala itu, di Kompasiana ada Blog Competition bertema “Berikan Aksi dan Ide mu Untuk Memajukan Pariwisata Indonesia”, hasil kerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Saya yang sempat hampa ide, lantas tertarik nulis sisa bencana lumpur Lapindo yang “disulap” jadi wisata. Dalam tulisan berjudul “Menjual Potensi Wisata Lokal, Berani Jadi Salesman” itu, saya mengangkat tentang potensi wisata di kota tempat tinggal saya, Sidoarjo. Serta upaya apa saja yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memajukan potensi wisata lokal yang ada di daerah mereka. Selengkapnya, ini link tulisan tersebut: http://www.kompasiana.com/hadi.santoso/menjual-potensi-wisata-lokal-berani-jadi-salesman_54f37d057455137c2b6c78ac.

Dan, tentu saja, bicara potensi wisata, tidak akan lengkap tanpa adanya foto. Akan serasa hampa bila tanpa foto. Karenanya, saya pun bela-belain ngambil gambar. Kebetulan, kala itu, saya dan istri serta dua anak kami dijemput mertua ke rumahnya di Pandaan, Pasuruan. Sehari di sana, karena ada keperluan mendadak, saya lantas kembali ke Sidoarjo. Nah, dalam perjalanan kembali ke Pandaan, saya sempatkan untuk berhenti di salah satu spot ‘pendakian’ turis yang ingin naik ke tanggul lumpur dan menyaksikan pemandangan yang terhampar.

Motor saya parkir di seberang jalan. Lantas mengambil handphone untuk memotret. Baru ngambil dua tiga gambar, mendadak seorang berbadan tinggi besar berwajah sangar, keluar dari bangunan semacam pos jaga. Ia menghampiri saya, menunjuk saya sembari membentak dengan suara kasar. “Hee lapo koen (ngapain kamu) foto-foto. Awakmu (kamu) wartawan yo”.

Koen yang bermakna kamu, adalah panggilan paling kasar dalam bahasa Suroboyo-an. Lebih kasar dari kata awakmu. Dan, tahu-tahu, pria yang mungkin penjaga pintu masuk ‘pendakian tanggul lumpur’ itu sudah ada di depan saya. Dia seolah ingin mengintimidasi saya yang kurus ini dengan badannya yang besar. Dia lantas berujar: “Gawe opo koen foto-foto (buat apa kamu foto-foto,” ujarnya.

Saya berusaha tenang (meski kaki gemetar). Saya lantas menjawab “oh gak kok mas, aku cuma pengen foto aeh”. Agar dia percaya, saya lantas membuka tas dan menunjukkan baju anak dan gendongan anak yang saya bawa. “Iki lho isi ne tas ku, mosok wartawan nggowo klambi arek cilik” (ini lho isi tas saya, masak wartawan bawa-bawa baju anak kecil). Ternyata dia percaya. Lantas kembali ke tempat jaganya. Saya pun langsung pergi. Dalam hati saya berujar, untung saja dia nggak maksa lihat KTP. Sebab, di KTP saya masih bertuliskan “wartawan”. Bila begitu, urusan bisa runyam.    

Saya tidak kenal siapa orang itu. Saya juga sudah lupa bagaimana rupa orangnya. Saya juga tidak tahu mengapa dia mendadak marah. Mungkin saja dia “yang punya” kawasan itu. Sebab, saya sering mendengar dari beberapa orang yang ngaku ditarik biaya parkir kendaraan kelewat mahal ketika hendak melihat tanggul lumpur itu. Atau ketika hendak naik ke tanggul. Ada semacam “tiket masuk”. Mungkin saja dia merasa terusik dengan jepretan foto saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun