Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyayangi Puasa Agar Tidak Menjadi Percuma

7 Juni 2016   14:19 Diperbarui: 7 Juni 2016   14:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain hanya merasakan lapar dan haus”.

Saya yakin, kita cukup sering mendengar kalimat itu. Beberapa pekan sebelum Ramadhan datang, khotib sholat jumat acapkali menyampakan hal itu. Apalagi ketika memasuki bulan Ramadhan seperti sekarang, frekuensi kalimat itu menyapa telinga.  

Dan saya yakin, saya dan Anda yang berpuasa, tentunya tidak ingin berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Sekadar merasakan lapar dan haus. Tentunya amat disayangkan, bila seharian berpuasa tetapi justru tidak mendapat esensi ibadahnya.

Lagi-lagi saya meyakini, ada banyak dari kita yang memahami tentang hal-hal yang bisa membatalkan puasa dan sadar untuk tidak melakukan hal-hal tersebut agar puasanya akan batal. Saya juga meyakini ada banyak dari kita yang memahami tentang hal-hal yang bisa membuat puasa kita menjadi percuma karena terhapusnya pahala puasa tetapi terkadang tidak sadar melakukan hal-hal tersebut.

Disinilah pentingnya agar kita belajar untuk “menyayangi puasa” kita. Menyayangi puasa, saya maknai sebagai ikhtiar untuk menjaga puasa kita agar tidak sia-sia. Dan seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Untuk bisa menyayangi puasa, kita perlu mengetahui hal-hal apa saja yang bisa menghapus pahala puasa sehingga kita tidak tergoda melakukannya.

Sekadar meneruskan khotib sholat Jumat, ada empat hal yang bisa menghapus pahala puasa. Dan tiga dari empat hal tersebut bersumber dari mulut kita. Yakni menggunjing orang lain alias rasan-rasan alias ghibah. Lalu menciptakan permusuhan dan menebar kebencian diantara sesama dengan cara ‘adu domba’. Juga menyampaikan sumpah palsu alias berbohong. Dan satu hal lainnya bersumber dari mata. Yakni memandang yang menyebabkan nafsu.

Ya, tiga hal bersumber dari mulut. Itu menandakan betapa bila kita ingin puasa kita benar dan berpahala, maka yang paling utama adalah menjaga mulut. Bahwa, lebih baik diam daripada ngobrol yang bisa menjadi api yang menghanguskan pahala puasa. Namun, menjadi diam itu ternyata tidak mudah. Terkadang, ketika berinteraksi dengan orang lain, kita tanpa sadar tergoda dan tanpa dasar ikut melakukan hal-hal “penghapus pahala” itu. Tanpa sadar, tahu-tahu ikutan ngomongin rekan kerja se-kantor. Tanpa niatan, tahu-tahu ikut ngomongin tetangga. Si A begini. Si B begitu. Bla bla bla.

Dan, lisan yang tidak terkontrol itu, ternyata semuanya bersumber dari prasangka terhadap orang lain. Bahwa tidak sedikit dari kita yang suka sekali menilai orang lain. Padahal kita sejatinya tidak tahu kebenaran dari apa yang kita bicarakan. Padahal, kita mungkin sekadar mengutip dan meneruskan ucapan orang lain yang juga tidak benar. Itulah yang namanya berprasangka.

Karenanya, mari menyayangi puasa kita dengan menjaga lisan dan menjaga hati, juga pikiran. Dengan menjaga lisan, hati dan pikiran untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak puasa, akan membawa kita sampai pada pemahaman. Bahwa puasa Ramadhan mengajak kita untuk memiliki waktu yang produktif dengan melakukan aktivitas berguna. Kita jadi terbiasa tidak melakukan hal-hal yang tak perlu.

Kembali kepada prasangka, bukankah kita memang sering berprasangka? Bahkan di bulan suci ini. Ketika ada orang gemar sedekah dan memberikan santunan pada anak yatim, kita dengan mudah berujar “kemarin-kemarin ke mana kok baru sekarang”. Padahal, boleh jadi yang menilai baru tahunya ya ketika itu. Lalu ketika ada orang beramal untuk pembangunan masjid dan namanya diumumkan sementara lainnya memilih nama “hamba Allah”, kita lantas menyebutnya pengen riya. Padahal, itu merupakan “pancingan” agar orang lain juga mengikuti amalannya.

Ah, kita ini kok terlalu gemar menilai orang lain. Semoga Ramadhan ini mengingatkan kita untuk lebih rajin menilai diri sendiri. Semoga kita lebih mengedepankan berpikir positif ketimbang berprasangka. Semoga kita lebih mau melakukan hal nyata untuk perbaikan lingkungan sekitar ketimbang sekadar menilai orang yang telah berikhtiar. Menulis pun merupakan bentuk ikhtiar untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Tentunya melalui tulisan yang menginformasi, mengedukasi, memotivasi dan menginspirasi. Dan tentunya, semoga semua karakter baik itu tidak hanya berhenti di bulan Ramadhan. Tetapi mampu membekas dan berlanjut di bulan-bulan berikutnya setelah Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun