Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita dan Filosofi Jalan Kaki yang Kurang Disadari

5 April 2021   11:08 Diperbarui: 7 April 2021   16:53 3054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jalan kaki (Sumber: pontimages via lifestyle.kompas.com)

Karena sebenarnya, hal-hal yang menganggu pikiran itu hanya perlu tidak dianggap sebagai penganggu. Pikiran overthinking itu hanya perlu diajak "berdamai". Lantas, kita bergerak memberesi satu-satu pekerjaan yang perlu diberesi.

Pikiran dan mood yang segar itu membuat saya jadi lebih ringan untuk memulai aktivitas. Semisal, setelah bersantai sejenak usai jalan kaki, lantas bisa memulai menulis di laptop.

Ide-ide menulis yang mendadak berseliweran ketika jalan kaki, bisa langsung dieksekusi. Begitu juga niatan untuk memberesi PR kerjaan menulis, bisa langsung "di-gas pol".

Dari situ, saya jadi paham bahwa ujaran orangtua dulu agar kita bangun pagi supaya rezekinya tidak dipatuk ayam, ada benarnya. Bahwa, bila kita memulai pagi dengan benar, kita jadi termotivasi untuk bekerja.

Bayangkan bila setiap pagi, bagi yang melaksanakan salat subuh lantas kembali tidur dan baru bangun sekitar pukul 08.00-an, ada banyak momen bagus yang kita lewatkan.

Belum lagi ketika bangun dari "tidur jilid II" itu, kita masih harus mengembalikan mood. Butuh waktu lama untuk bersiap memulai aktivitas. Sementara mereka yang paginya tidak kembali tidur dan berjalan kaki, sudah memulai aktivitasnya sejak beberapa jam sebelumnya.

Memang, aktivitas jalan kaki ini tidak bisa dilakukan semua orang. Utamanya bagi mereka yang bekerja pulan larut malam ataupun bekerja shift malam.

Dulu, ketika masih muda, ketika masih bekerja di pabrik koran, saya juga jarang menyapa pagi dengan benar. Usai subuh, saya terbiasa "tidur jilid II" alias nambah tidur. Karena masih mengantuk.

Sebab, sebelumnya, baru pulang ngantor larut malam. Tiba di rumah jelang tengah malam. Dan itu pun tidak langsung tidur, mata masih betah melek.

Saya beruntung, aktivitas seperti itu kini hanya tinggal kenangan. Kini hanya bisa dijadikan cerita ke anak-anak. Dan menginjak usia yang hampir 40 tahun, ketika tidak lagi bekerja kantoran, saya bersyukur bisa punya waktu lega di pagi hari.

Saya kini punya waktu longgar untuk sejenak berjalan kaki tanpa pikiran harus diganggu agenda kerjaan di kantor. Karenanya, sayang sekali jika pagi hanya dilewatkan begitu saja tanpa jalan kaki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun