Legenda sepak bola asal Belanda, mendiang Johan Cruyff, ternyata senang berpuisi. Dalam The Poetry of Johan Cruyff, pria yang membawa Barcelona meraih trofi pertama Liga Champions di tahun 1992 ini menulis begini:
In each game there are only three minutes
and those of course subdivided into moments
that really matter
in three minutes you win or lose Â
Puisi Cruyff itu masih relevan untuk menggambarkan persepakbolaan di era 2021. Bahwa, sebuah tim mungkin mengira tidak bakal kalah. Lantas, datanglah peristiwa tidak terduga, yang mencampakkan mereka ke lubang kekalahan hanya dalam beberapa saat.
Itulah gambaran kekejaman nasib di sepak bola ini. Dan ada banyak tim yang telah merasakan kekejaman sepak bola.
Saya mendadak teringat puisi Cruyff itu usai mendengar kabar tragis yang dialami Liverpool. Pagi tadi, Jumat (22/1) Liverpool kalah 0-1 dari Burnley di kandang sendiri di pekan ke-19 Liga Inggris.
Keangkeran Anfield berakhir. Liverpool yang selama lebih dari dua tahun tidak pernah kalah di Anfield bila tampil di Liga Inggris, akhirnya kalah. Dan yang mengalahkan ternyata tim 'tidak terkenal', Bunrley.
Kekalahan dari Burnley itu menjadi penegas bahwa Liverpool sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, mereka mulai dihantam krisis di Premier League.
Apa kaitan Liverpool dengan puisi Cruyff itu?
Mari mundur ke masa setahun silam, lebih tepatnya sebulan tiga hari. Ketika Liverpool tanpa ampun tujuh kali menghujani gawang Crystal Palace pada 19 Desember 2020 lalu.