Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada di Akhir Tahun, Risiko dan "Skenario" Bila Pandemi Belum Berakhir

30 Juli 2020   09:57 Diperbarui: 30 Juli 2020   12:27 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sepakat, Pilkada akan digelar pada 9 Desember 2020. Dengan belum ada kepastian bahwa masa pandemi sudah berakhir di akhir tahun nanti, ada tantangan dan risiko yang dihadapi pemerintah dan penyelenggara pemilu di pilkada 2020 nanti/Foto: KataData

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kini tinggal menghitung bulan. Pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sepakat, Pilkada akan digelar pada 9 Desember 2020.

Seperti agenda liga sepak bola Eropa yang diundur tiga bulan karena terdampak pandemi Covid-19, agenda Pilkada pun begitu. Awalnya, kontestasi pemilihan kepala daerah ini diagendakan digelar September. Namun,  jadwal dimundurkan karena dikhawatirkan situasi belum kondusif akibat wabah.

Bagaimana bila akhir tahun nanti, kondisi darurat bencana Covid-19 belum berakhir?

Melansir dari Kompas.com, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah menyiapkan 'skenario' nya. Bahwa, jika menjelang penyelenggaraan Pilkada kondisi darurat bencana Covid-19 ternyata belum berakhir, maka Pilkada dapat ditunda.

"Apabila pada saat pemilihan kondisi kedaruratan bencana wabah Covid-19 masih belum selesai atau meningkat, pilkada dapat dijadwalkan kembali atas persetujuan pemerintah, KPU dan DPR," ujar Mendagri Tito seperti dikutip dari kompas.com.

Tetapi memang, mengagendakan menggelar Pilkada ketika empat bulan menuju "hari H" situasi pandemi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, itu tantangannya besar.

Saya memilih menyebut kata tantangan daripada berisiko. Tantangan yang dimaksud, bahwa upaya untuk mensukseskan pilkada akan lebih berat dibanding agenda serupa sebelumnya.

Ya, tantangannya memang besar. Mulai dari tantangan (risiko) kesehatan, tantangan anggaran, serta tantangan menurunnya kualitas demokrasi akibat rendahnya partisipasi publik.

Tantangan dan risiko tersebut bukan hanya akan dirasakan oleh penyelenggara Pemilu yang harus menyiapkan "formula khusus" agar Pilkada sukses. Tetapi juga bagi para kandidat yang akan tampil di Pilkada pertama tanpa kerumunan massa, serta juga masyarakat sebagai pemilih.  

Tantangan kesehatan

Merujuk pada masih tingginya tren sebaran Covid-19 dan masih cukup banyak wilayah yang masuk zona merah hingga akhir bulan Juli ini, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pandemi Covid-19 akan selesai pada akhir tahun nanti.

Bila begitu, menggelar pilkada pada Desember nanti, tentu sedikit banyak akan berisiko pada kesehatan semua orang yang terlibat. Di sinilah tantangan utamanya bagi penyelenggara pilkada. Yakni, bagaimana menggelar pilkada di masa pandemi dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat. Utamanya bagi masyarakat.

Dalam obrolan santai dengan beberapa kawan terkait pelaksanaan pilkada pada akhir tahun nanti, ada beberapa celotehan yang menarik. Utamanya perihal risiko kesehatan ini.

Ada kawan yang bilang, jika disuruh memilih antara pelaksanaan pilkada yang digelar tahun ini dengan mengedepankan protokol kesehatan atau memperpanjang masa tugas pelaksana tugas (kepala daerah), dia akan lebih memilih memperpanjang masa pelaksana tugas tersebut.

Menurutnya, ada risiko kesehatan yang berkaitan dengan risiko anggaran dan juga berdampak pada risiko turunnya kualitas demokrasi jika pilkada tetap dilakukan di tengah ancaman Covid-19.

Namun, toh keputusan sudah dibuat oleh pemerintah. Bahwa, pilkada ditetapkan akan digelar akhir tahun. Meski nanti juga akan melihat perkembangan situasi pandemi.

Nah, yang bisa dilakukan penyelenggara sedari sekarang adalah menyiapkan 'formula' menggelar pilkada yang berbeda dari sebelumnya. Formula yang tentunya 'ramah kesehatan' dalam artian aman bagi kesehatan semua yang terlibat dalam pilkada.

Saya mengandaikan jalannya Pilkada yang ramah alias aman bagi kesehatan bila memang situasi pandemi belum berakhir ini. Seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang lebih banyak dari pilkada sebelumnya. Hal tersebut untuk menerapkan physical distancing dengan 'memecah" jumlah pemilih yang tidak banyak di setiap TPS.

Selain itu, juga penting untuk mengatur jadwal kehadiran para calon pemilih ke TPS. Pengaturan jadwal ini penting agar tidak terjadi penumpukan massa pemilih di lokasi TPS pada waktu bersamaan.
 
Saya juga mengandaikan, nantinya, pihak panitia pilkada dan pemilih datang ke lokasi TPS menggunakan masker. Untuk panitia bahkan mungkin diharuskan memakai sarung tangan dan face shield.

Selain itu, bila di Pilkada dulu, para pemilih jarinya hanya diberi tinta sebagai penandai telah memberikan hak suaranya, di Pilkada nanti tentu juga wajib disediakan hand sanitizer dan tempat cuci tangan plus sabun.

Bahkan mungkin, bila dulu, usai pemilihan dan menjelang perhitungan suara di TPS, petugasnya sejenak jeda "menghela nafas", nanti mungkin akan dilakukan penyemprotan disinfektan di TPS sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Risiko Anggaran bertambah

Dari penjelasan perihal risiko dan tantangan kesehatan tersebut, jelas Pilkada di masa pandemi akan berdampak pada risiko anggaran. Artinya, anggarannya bakal lebih besar dari sebelumnya.

Sebab, akan ada poin-poin yang di Pilkada sebelumnya tidak ada, kali ini akan diadakan dan memang harus ada. Dari mulai kemungkinan penambahan TPS hingga penerapan protokol kesehatan ketat di TPS, juga penyediaan masker, hingga hand sanitizer untuk pemilih.

Karenanya, tidak mengherankan bila kemudian, di kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada, pihak penyelenggara pilkada nya mengajukan usulan tambahan anggaran.

Melansir dari Liputan6.com, Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya mengajukan tambahan anggaran Pilkada 2020 senilai Rp 12 miliar untuk kebutuhan alat pelindung diri oleh pemerintah kota setempat.

Ketua KPU Surabaya, Nur Syamsi menyebut, pengajuan tambahan anggaran sebesar tersebut ditolak oleh pemkot dari sumber APBD. Pihaknya lantas  mengalihkan pengajuan tambahan anggaran Pilkada 2020 ke KPU RI.

Anggota Komisi A (Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni menyebut, penambahan anggaran pilkada di tengah pandemi ujungnya adalah menyelamatkan warga Surabaya dari potensi terinfeksi virus corona karena pilkada digelar pada masa pandemi.

Tantangan kualitas pilkada, potensi tingkat partisipasi rendah

Selain kesehatan dan anggaran, tantangan lainnya ketika menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi adalah bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebab, ada kekhawatiran, dengan situasi pandemi yang belum usai, ada berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih.

Melansir dari Kompas.com, dalam sebuah diskusi pada April lalu, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, selain soal partisipasi pencoblosan, dikhawatirkan pemilih juga kurang berpartisipasi dalam kampanye calon kepala daerah.

Kita tahu, di masa pandemi, beberapa orang menyikapinya berbeda. Ada yang 'biasa saja' dalam artian tetap beraktivitas dan berani membaur dengan sesama karena sudah menerapkan protokol kesehatan. Namun, ada juga yang benar-benar membatasi bertemu orang lain di luar rumah.  Sementara pilkadanya digelar secara manual yang mengharuskan pemilih datang ke lokasi.

Arya juga menyinggung bahwa bukan tidak mungkin, para calon kepala daerah tidak akan maksimal dalam berkampanye karena situasi pandemi Covid-19 ini. Sebab, agenda kampanye tentu tidak akan bisa mengumpulkan massa seperti dulu.

Artinya, pola kampanye yang paling memungkinkan adalah kampanye secara virtual. Bila begitu, bisa dipastikan, hak masyarakat untuk menerima pemaparan visi misi calon dari virtual itu, tidak semuanya bisa menerima.

Bila seperti itu, untuk menaikkan tingkat partisipasi pemilih di Pilkada, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara masif. Sosialisasi bisa berupa woro-woro agenda pilkada, kandidat yang tampil, juga penerapan protokol kesehatannya.  

Tentu saja, dengan situasi pandemi seperti sekarang, akan berisiko bila melakukan sosialisasi dengan mengumpulkan masyarakat. Bila begitu, sosialisasi harus dilakukan dengan mengoptimalkan peran media. Dari media konvensional, media massa, hingga media sosial.

Dari pengumuman di spanduk yang bisa ditempatkan di berbagai titik. Bisa lewat woro-woro di layar videotron yang bisa dilihat pengendara, juga lewat pesan broadcast di WhatsApp.

Atau juga melalui iklan pengumuman di media cetak maupun elektronik. Pemerintah dan pihak penyelenggara pilkada bisa merancang cara sosialisasinya sedari sekarang.

Pendek kata, menyelenggarakan Pilkada 2020 yang tidak ada jaminan masa pandeminya sudah usai, tentu akan ada banyak tantangan dan juga risikonya. Karenanya, persiapannya harus maksimal.

Pemerintah juga harus siap dengan solusi terkait segala macam kekurangan dan hal-hal lain yang nantinya bisa menjadi kendala di pilkada. Dan yang tidak boleh dilupakan, faktor kesehatan petugas pilkada. Jangan sampai ada lagi ratusan penyelenggara pemungutan suara yang gugur seperti tahun lalu. Salam.

Referensi:
kompas.com
liputan6.com
kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun