Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Seperti Kata Jack Ma, Barcelona Perlu Belajar dari Kompetitor

21 Juli 2020   09:16 Diperbarui: 21 Juli 2020   09:24 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Quique Setien dan Lionel Messi, hubungan mereka diberitakan kurang dekat. Media-media Spanyol juga beberapa kali memberitakan bila Setien kurang dipercaya pemain-pemain Barca. Karenanya, Barca perlu meniru jejak sukses Real Madrid dalam menunjuk Zidane sebagai pelatih/Foto: kickoff.com

Barcelona belajar dari kompetitor? Maksudnya Real Madrid?

Ah yang benar saja. Bagaimana mungkin, Barcelona dipaksa belajar dari kompetitor mereka yang sejak dulu kala menjadi 'musuh' utama di Liga Spanyol. Bagi pendukung Barcelona, kalimat dalam judul itu mungkin terdengar menyebalkan.

Tetapi, bila Barcelona ingin move on dari capaian buruk di musik 2019/20 ini demi menargetkan hasil lebih bagus di musim berikutnya, tidak ada salahnya mereka belajar dari sukses Real Madrid.

Orang-orang di FC Barcelona perlu mendengarkan nasihat dari Jack Ma. Orang sukses dan kaya asal Tiongkok ini pernah berujar begini: "You should learn from your competitor, but never copy. Copy and you die.

Meski ruang lingkupnya di bidang entrepreneurship, tetapi nasihat Jack Ma itu juga relevan bila dibawa ke panggung sepak bola. Bahwa, bagi tim yang gagal, tidak ada salahnya belajar dari kompetitor perihal cara mereka meraih sukses. Termasuk Barcelona.

Memangnya, ada apa dengan Barcelona?

Kita tahu, Barcelona gagal di Liga Spanyol musim 2019/20. Di musim ini, segalanya seperti berjalan buruk bagi Barcelona. Dari kebijakan transfer pemain yang buruk (berharga mahal tapi tidak optimal), cedera pemain, hingga pergantian pelatih di 'tengah jalan'.

Memang, Lionel Messi dan kawan-kawan menutup kompetisi Liga Spanyol dengan pesta gol. Mereka menang 5-0 atas Alaves, Minggu (19/7) malam.
Namun, apalah artinya kemenangan besar itu bila Barcelona sudah divonis gagal mempertahankan gelarnya.

Gelar Liga Spanyol direbut 'rival berat' mereka, Real Madrid. Sebelumnya, Barcelona juga gagal meraih trofi Piala Raja Spanyol. Mereka dieliminasi oleh Athletic Bilbao di babak perempat final.

Ini untuk kali pertama dalam enam tahun terakhir, Barcelona tanpa gelar di kompetisi domestik. Hal serupa juga pernah dialami Barca di musim 2013/14 ketika gagal juara liga dan juga piala raja.

Toh, musim 2013/14 itu masih lumayan karena Barcelona yang dilatih pelatih Argentina bernama Gerardo Martino, bisa memenangi Piala Super Spanyol di awal musim.

Raihan poin Barcelona di musim 2019/20 ini (82 poin) juga menjadi capaian yang terendah dalam 12 tahun terakhir. Kali terakhir poin Barca di klasemen 'tidak enak dilihat' terjadi pada musim 2007/08, ketika mereka hanya mendapatkan 67 poin.

Setumpuk masalah di Barcelona
Sebenarnya, apa yang salah dengan Barcelona sehingga musim ini berakhir nelangsa?

Tidak sedikit yang menyebut pergantian pelatih dari Ernesto Valverde ke Quique Setien pada 13 Januari 2020 lalu, menjadi awal mula cerita pahit Barcelona di musim ini.

Setien (61 tahun) yang di masa awal melatih Barcelona dipuja karena dianggap telah mengembalikan filosofi tiki-taka yang kesohor itu dengan menorehkan 1000 operan dalam satu laga debutnya (menang 1-0 atas Granada), nyatanya tidak lebih bagus dari Valverde.

Faktanya, Valverde, dengan pemain yang hampir sama dengan yang dimiliki Setien, bisa meraih gelar Liga Spanyol selama dua musim beruntun, 2017/18 dan 2018/19.

Lalu, mengapa Valverde dipecat?

Banyak orang tahu, selain penampilan Barca di awal musim ini terbilang labil dan 'kurang indah dilihat', manajemen Barcelona gerah dengan Valverde setelah dua kekalahan "tidak wajar" di Liga Champions di dua musim beruntun. Barca tersingkir dengan cara menyebalkan. Sempat unggul dengan margin gol besar, mereka kemudian jadi korban come back.

Di Liga Champions musim 2017/18, di babak perempat final, Barca yang sempat unggul 4-1 pada pertandingan pertama, malah tersingkir usai di-remontada (bahasa Spanyolnya come back) oleh AS Roma.

Dan, masih lekat dalam ingatan ketika Barcelona dibuat patah hati oleh Liverpool di semifinal musim 2018/19 lalu. Barca yang unggul 3-0 di laga leg I, malah kalah 0-4 di Anfield.

Singkat kata, usai "puasa gelar' di Eropa sejak tahun 2015, manajemen Barca menginginkan pelatih yang bisa membuat klub mereka kembali berjaya di Eropa. Yang terjadi, mereka malah menunjuk Quique Setien, pelatih yang 'tidak terkenal' dan bahkan belum pernah menangani tim di Liga Champions.

Mengapa harus Setien?

Karena Barca menilai Setien punya 'nilai rapor' bagus kala melatih Real Betis. Dia dinilai membuat Betis bermain menyerang dan enak ditonton lewat permainan operan. Dia juga pelatih yang percaya kepada anak-anak muda. Atas dasar itu, Barca tertarik merekrut Setien.
 
Bila kemudian Setien gagal membawa Barca juara Liga Spanyol, itu karena ada banyak faktor. Utamanya masalah di lini depan yang tak lagi seganas musim-musim sebelumnya.

Memang, Barca menjadi tim yang mencetak gol terbanyak di Liga Spanyol musim ini dengan 86 gol. Mereka lebih ganas dari Real Madrid. Namun, jumlah gol itu jadi yang terendah bagi Barcelona sejak musim 2007/08.

Barcelona masih produktif karena Lionel Messi tampil istimewa. Dia mencetak gol terbanyak (25 gol). Dia juga membuat assist terbanyak. Namun, sang pemain terbaik dunia seperti "menggendong" Barcelona sendirian di musim ini.

Utamanya setelah Luis Suarez beberapa kali tidak bermain karena cedera. Kehadiran Antoine Griezmann dari Atletico Madrid yang diharapkan membuat lini depan Barca lebih garang, juga tak sesuai harapan. Penyerang asal Prancis yang telah memenangi Piala Dunia itu tak bisa menyatu dengan gaya Barcelona.

Imbasnya, Setien seringkali mencadangkan Griezmann. Setien juga seringkali mengubah pendamping Messi di lini depan. Kadang bocah 17 tahun lulusan La Masia, Ansu Fati. Kadang penyerang "tak terkenal" asal Denmark, Martin Braithwaite. Padahal, Liga Spanyol "tidak sebercanda" itu.

Namun, hal mencolok dari kegagalan Setien di Barcelona adalah karena dirinya bukan pelatih yang mampu "menjinakkan hati" Messi. Sebagai pelatih, karakter Setien terlalu kalem. Dia juga kurang berkarisma karena tidak punya cerita sukses di masa lampau.

Pernah, ketika jeda pertandingan beberapa pekan lalu, media Spanyol memperlihatkan foto Setien tengah memberi arahan kepada pemain-pemain Barca, Messi malah seperti tak mendengarkannya.  

Terkait hal ini, mantan wartawan senior Kompas, Anton Sanjoyo, menulis tulisan menarik di akun media sosialnya. Mas Joy--sapaan nya, menulis begini: "Messi terlalu dominan. Fenomena ini disangkal (Barcelona), tetapi bahasa tubuh tak bisa disembunyikan".

Pertengahan Juni lalu, media Spanyol, Marca, juga pernah mengulas perihal Setien yang kehilangan kendali di kamar ganti. Marca menyebut pemain-pemain Barca sudah tidak lagi percaya dengannya. Dia dicueki. Marca memasang foto ketika beberapa pemain Barca seperti Pique membelakangi Setian seperti dikutip dari marca.com.   

Barca butuh pelatih berkarakter Zidane
Dengan memiliki pemain superstar seperti Messi, Barca memang butuh pelatih yang 'tidak biasa'. Pelatih yang bisa membuat Messi menurut. Dan itu harus lebih dari pelatih kalem seperti Setien.

Mengutip pesan Jack Ma, Barca memang butuh belajar dari kompetitornya. Barca perlu belajar dari sukses Real Madrid yang menunjuk kembali Zidane sebagai pelatih.

Ketika Zidane pergi di akhir musim 2017/18 usai memenangi Liga Champions, Real Madrid juga sempat 'goyang' di musim 2018/19. Pelatih Julen Lopetegui tak bertahan lama. Kompetisi dimulai Agustus, Oktober dia sudah out. Begitu juga Santiago Solari, sang penerusnya. Zidane pun kembali ditarik di bulan Maret 2019.

Apa yang salah?

Secara taktikal, Lopetegui hebat. Dia pernah juara Eropa bersama Tim Spanyol U-19  di tahun 2012 dan Tim Spanyol U-21  di Piala Eropa U-21 2013. Namun, secara karisma yang bisa membuat pemain manggut-manggut pada ucapannya, dia bukan levelnya Zidane.

Sama seperti Barca, ruang ganti Real juga berisikan pemain-pemain bintang dengan ego besar. Bahkan, mereka mungkin ada yang merasa lebih besar dari pelatihnya. Karenanya, butuh pelatih tidak biasa untuk 'menjinakkan' mereka.

Dulu, di masa awal Zidane datang pada 2016 menggantikan Rafael Benitez, pemain Madrid patuh kepadanya. Termasuk Ronaldo, Sergio Ramos, dan Karim Benzema yang merupakan pemain senior.

Mereka segan pada Zidane. Lha wong Zidane pernah meraih semua hal di sepak bola yang bahkan belum pernah mereka raih. Maka, Ronaldo cs pun 'jinak'. Dan, cerita sukses Real memenangi hat-trick trofi Liga Champions 2016, 2017, dan 2018 bermula dari situ.

Nah, Barca bisa berkaca dari cara Real Madrid menunjuk pelatih. Tentu saja tidak dengan meng-copy mentah cara Real, semisal membawa Zidane ke Barcelona.

Sebab, Zidane belum tentu cocok dengan pemain-pemain Barcelona karena dia memang tidak punya ikatan emosional dengan Barca. Bila seperti itu, bukan tidak mungkin akan terjadi "copy and you die" seperti kata Jack Ma itu.

Namun, Barca bisa belajar bagaimana memilih pelatih yang disegani oleh Messi dan kawan-kawan. Pelatih yang karena karisma dan kedekatan emosional, dihormati pemain-pemain Barca. Sehingga, pemain-pemain bisa tampil lebih maksimal.

Sebenarnya Barca pernah melakukan cara itu ketika menunjuk Pep Guardiola dan Luis Enrique. Keduanya mantan Barca. Dan keduanya sukses besar.

Guardiola membawa Barcelona juara Liga Champions 2009 dan 2011. Lalu Enrique membawa Barca juara Liga Champions 2015 ketika mengalahkan Juventus dengan trio MSN (Messi-Suarez-Neymar).

Namun, ketika Enrique mundur, Barca kembali dilatih "orang luar". Kini, setelah era Valverde dan Setien, menarik ditunggu apakah Barca akan kembali memanggil "orang dalam".

Barca memang belum memutuskan nasib Setien. Mereka masih menunggu capaian Barcelona di Liga Champions pada Agustus nanti. Barca masih punya peluang di Liga Champions. Mereka akan menghadapi tim Italia, Napoli pada leg II babak 16 besar pada 7 Agustus nanti.

Namun, bila penampilan ambyar Barcelona di Liga Spanyol musim ini terbawa ke Liga Champions, suporter Barcelona harus bersiap menerima kenyataan bila tim mereka musim ini tidak meraih gelar.

Bila seperti itu, Barca sepertinya memang harus berpikir untuk memulangkan Xavi Hernandez, mantan kapten mereka yang kini melatih di Qatar untuk melatih Messi dkk. Atau, siapa tahu, Pep Guardiola yang justru akan kembali ke Camp Nou. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun