Why do we fall?
Sampean (Anda) yang menyukai film Batman Begins garapan sutradara beken Christoper Nolan yang rilis pada 2005 lalu, pastinya paham dengan petikan percakapan Alfred Pennyworth dan Bruce Wayne itu.
Kalimat tanya itu diucapkan Alfred usai menyelamatkan Bruce yang nyaris tewas terkubur reruntuhan bangunan "istana" Wayne Manor yang dibakar musuh utamanya, Ra's al Ghul.
Di tengah situasi kalah dan keputusasaan yang dialami Bruce, Alfred, si lelaki tua itu, mengucapkan kalimat tanya itu.
"Why do we fall?" yang lantas dijawab sendiri olehnya "So we can learn to pick ourselves up". Mengapa kita jatuh? Agar kita bisa belajar untuk bangkit.
Bagi saya, percakapan itu menjadi bagian terbaik dalam film reboots Batman yang diakui sebagai salah satu film super hero terbaik yang pernah dibuat.
Anda yang sudah berkali-kali menyaksikan Batman Begins, pastinya paham bila percakapan di lift darurat di tengah amukan api itulah yang lantas memotivasi Bruce bangkit dari kejatuhan. Percakapan itu yang membuatnya belajar dari kegagalan. Menjadi lebih tegar. Pada akhirnya, dia mengalahkan Ra's a Ghul dan menyelamatkan kotanya.
Saya mengandaikan percakapan batin seperti itulah yang telah menguatkan mental mantan penyerang Chelsea, Didier Drogba untuk bangkit dari kekecewaan terburuk dalam kariernya yang terjadi hari ini pada 12 tahun silam. Lantas, empat tahun kemudian, 2012, dia bisa menebus kekecewaannya di malam yang serupa 2008 itu.
Sejarah 8 tahun silam
Ya, bagi para pendukung klub Inggris Chelsea, tanggal 20 Mei itu spesial. Delapan tahun silam, malam 20 Mei 2012 itu menjadi momen paling bersejarah bagi klub asal London itu. Mereka jadi juara Eropa. Mereka memenangi Liga Champions pertama sejak berdiri pada 1905.
Malam itu seakan menjadi bukti bila sepak bola itu adil. Mereka yang pernah gagal, selalu punya kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Selalu ada kesempatan untuk bangkit setelah terpuruk.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan momen 20 Mei 2012 lalu?
Beberapa hari jelang 'peringatan' momen 20 Mei itu, penyerang legendaris Chelsea, Didier Drogba melalui akun Instagramnya, menceritakan kembali apa yang tidak diketahui banyak orang pada malam itu.
Kala itu, di musim 2011/12, Chelsea tampil kurang bagus di Liga Inggris. Baru beberapa bulan liga berjalan, pelatih Andre Villas Boas (AVB) sudah dipecat. Drogba menyebut, pemain-pemain Chelsea kala itu merasa bersalah dengan dipecatnya AVB.
Lantas, pemain-pemain senior seperti John Terry, Frank Lampard, dan Drogba, mengumpulkan semua pemain Chelsea. Mereka mengajak semua pemain untuk bersungguh-sungguh memenangi trofi Liga Champions di tahun itu. Dan kita tahu bagaimana akhir ceritanya.
Namun, cerita happy ending Chelsea di tahun 2012 itu mungkin tidak akan terjadi bila mereka tidak pernah merasakan luka. Empat tahun sebelumnya, Chelsea merasakan duka menyakitkan di malam yang serupa. Malam final.
Karena pernah merasakan kejadian memilukan itulah, pemain-pemain Chelsea lantas termotivasi untuk bersungguh-sungguh di kesempatan kedua. Mereka mengambil pelajaran dari kegagalan di kesempatan pertama.
Malam memilukan di Moskow
Tepat hari ini, 12 tahun silam, sulit menggambarkan bagaimana kekecewaan yang dirasakan pemain-pemain Chelsea. Betapa tidak, bayangan mengangkat piala sudah di depan mata. Tapi, yang terjadi, bayangan indah itu sirna ketika kapten mereka terpeleset.
Ya, penggemar sepak bola pasti masih ingat final Liga Champions 2008 ketika Chelsea melawan Manchester United di Luzhniki Stadium, Moskow. Kala itu, segalanya berjalan buruk bagi Chelsea. Segalanya berjalan pilu bagi Drogba.
Drogba yang diharapkan menjadi 'sinterklas' yang membawa hadiah manis berupa trofi Liga Champions kepada fans Chelsea, justru menjadi pecundang. Drogba diusir wasit di masa perpanjangan waktu. Dia dikartu merah di menit ke-116. Empat menit jelang laga selesai.
Imbasnya, upaya Chelsea menambah gol saat skor masih 1-1 menjadi misi supersulit. Penentuan pemenang pun ditentukan dengan adu penalti.
Chelsea sebenarnya sempat punya peluang juara. Ketika skor penalti 4-4, Chelsea masih punya penendang terakhir. Sebelumnya, Cristiano Ronaldo menjadi satu-satunya pemain United yang gagal di adu penalti itu.
Kapten John Terry maju sebagai eksekutor terakhir. Bila sepakannya masuk, Chelsea akan unggul 5-4. Juara. Yang terjadi kemudian, sampean (Anda) pasti tahu yang terjadi.
Ya, Terry yang sepakannya seharusnya berhadiah trofi paling diimpikan Chelsea, justru terpeleset ketika akan menendang. Bola sepakannya pun tidak mengarah ke gawang. Terry meratapi nasibnya. Chelsea pun akhirnya gagal setelah sepakan Nicolas Anelka diblok kiper United, Edwin van der Sar. United juara setelah unggul 6-5.
Andai saja di laga itu, Drogba tidak dikartu merah, hampir pasti dia akan masuk sebagai penendang terakhir. Bukan Terry. Dan, dengan Drogba sebagai penendang, akhir cerita laga di Moskow bisa saja berbeda.
Menemukan makna "why do we fall" di Munchen
Toh, sepak bola itu tidak kejam. Mereka yang gagal, bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan. Meski, kesempatan kedua itu mungkin diraih dengan perjuangan 'berdarah-darah'.
Dan itulah yang terjadi pada Chelsea. Chelsea dan Drogba mendapatkan kesempatan kedua itu empat tahun kemudian. Kali ini, final Liga Champions digelar di Muenchen, Jerman. Kala Chelsea meladeni Bayern Muenchen di rumahnya. Di depan lautan pendukungnya sendiri.
Kali ini, Chelsea tampil rapi meski terus-terusan diserang. Kali ini Drogba tampil tenang. Emosinya tak lagi meluap-luap. Sebagai satu-satunya pemain depan yang dipasang di laga itu, Drogba tahu apa yang harus dia lakukan.
Meski, dalam testimoninya itu, Drogba menyebut dirinya hampir saja putus asa ketika Bayern mencetak gol di menit ke-82 lewat sundulan Thomas Muller.
"Setelah gol itu, aku langsung lemas dan tak bersemangat. Tapi Juan Mata berkata kepadaku, "Tetap percaya Didi, kau harus tetap percaya". Sambil menahan tangis, saya bilang semua akan berakhir. Sebentar lagi, aku sepertinya akan menangis kencang," kenang Drogba.
Yang terjadi kemudian, di menit ke-88, Chelsea mendapatkan sepak pojok. Itu sepak pojok pertama bagi Chelsea di laga itu. Dari sepak pojok itulah, Drogba mencetak gol penyama skor dan memaksa pertandingan ke babak tambahan.
"Kau tahu siapa yang menendang sepak pojok itu? Ya, Juan Mata. Dia menendang sepak pojok itu. Dan yang terjadi selanjutnya adalah catatan sejarah baru. Pelajaran yang bisa diambil adalah: teruslah percaya?," ujar Drogba.
Pada akhirnya, Chelsea seolah mengalami situasi deja vu 2008. Mereka kembali melakoni adu penalti setelah skor tetap 1-1 hingga babak perpanjangan waktu. Bedanya, Drogba kali ini masuk daftar penendang.
Toh, jalan Chelsea untuk meraih kesempatan kedua itu tidak mudah. Mentalitas mereka untuk bangkit kembali diuji. Dari tiga penendang, Bayern unggul 3-2 setelah Juan Mata gagal sebagai penendang pertama. Termasuk sepakan kiper Manuel Neuer.
Tapi, siapa sangka, cerita kemudian berbalik. Skor lalu sama 3-3 setelah penendang keempat Bayern, Ivica Olic, gagal dan Ashley Cole sukses menaklukkan Neuer.
Lalu, Schweinsteiger yang di semifinal menjadi penentu kemenangan Bayern saat mengalahkan Real Madrid di babak adu penalti, kali ini justru jadi pecundang. Sepakannya membentur tiang gawang.
Lantas, giliran Drogba maju. Situasi ini lagi-lagi menjadi ulangan final 2008 lalu. Seperti halnya Terry pada 2008 lalu, Drogba yang menjadi penendang terakhir, bisa menjadi penentu Chelsea juara. Bagi Drogba, itulah momen paling penting sekaligus mendebarkan dalam karier bolanya. Dia tentu tidak ingin bernasib seperti Terry dulu.
Yang terjadi, eksekusi Drogba, menjadi penalti paling dingin dalam adu penalti  itu. Manuel Neuer yang sangat percaya diri, dibuatnya hanya seperti kiper kebanyakan. Drogba sempurna mengeksekusi penalti. Chelsea pun dibawanya juara.
"Saya tidak tahu jika ada kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan saya kala itu. Di Moskow segalanya berjalan sulit, sangat menyakitkan bagi pemain, klub dan fans. Di Munchen, kami bisa mengubah kenangan buruk itu," tegas Drogba seperti dilansir situs uefa.com.
Drogba memang lega luar biasa. Sebab, di laga itu, dia bisa saja kembali jadi pecundang seperti final 2008. Andai penalti Arjen Robben di babak pertama masa tambahan tidak diselamatkan Petr Cech, dia akan kembali disalahkan. Karena dialah penyebab penalti itu. Tetapi memang, nasib baik kali ini memeluknya erat.
Tetapi memang, semangat orang yang pernah gagal dan bersemangat ingin memperbaiki kesalahan, pembawaannya berbeda. Lebih tenang. Lebih percay diri.
Padahal, tiga bulan sebelumnya, Februari 2012, Drogba gagal mengeksekusi penalti di final Piala Afrika 2012. Kegagalan itu membuat negaranya, Pantai Gading kalah dari Zambia. Tetapi, di kota  Muenchen, Drogba bisa melupakan kenangan buruk itu.
"Saya percaya diri, meski ingatan saya di final Piala Afrika belum hilang. Tapi, saya ingin membuat semua orang di Chelsea tersenyum dan saya melakukannya," sambung Drogba.
Di tahun itu, kontrak Drogba di Chelsea berakhir. Striker berotot kekar ini lantas memilih berpetualang ke Liga Super China, bergabung dengan klub Shanghai Shenhua. Lantas menyeberang ke Turki, bergabung di klub Galatasaray.
Pada akhirnya, dia kembali ke Chelsea di musim 2014/15. Drogba reuni dengan Jose Mourinho. Lantas, membawa The Blues juara Liga Inggris 2014/15. Itu gelar Liga Inggris keempat Drogba.
"Everyone knows the special relationship I have with this club and it has always felt like home to me," ujar Drogba.
Ada banyak pemain yang datang dan pergi di Chelsea. Namun, sampai kapanpun, Drogba tidak akan terlupakan. Bukan hanya karena jasa besarnya pada klub. Tapi juga mental pemenang dan semangat bangkit dari kegagalan di masa lalu yang dimilikinya.
Pada akhirnya, dari kekalahan, dan kejatuhan, dan hidup yang acapkali membuat kita menangis, kita bisa belajar mencari makna 'mengapa' itu terjadi. Lantas, mencari 'obat penawar' untuk bangkit.
Drogba bisa menemukan jawaban dari ucapan Alfred Pennyworth: why do we fall? Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H