Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

An Se-young, "Bocah Ajaib" yang Diimpikan Bulutangkis Indonesia

28 Oktober 2019   10:34 Diperbarui: 29 Oktober 2019   01:17 2203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunggal putri Korea, An Se-young (kanan) yang baru berusia 17 tahun, jadi juara di French Open 2019. An Se-young mengalahkan Carolina Marin, juara dunia tiga kali asal Spanyol/Foto: tellerreport.com

Turnamen bulutangkis French Open 2019 yang digelar di Kota Paris sejak Selasa (22/10) lalu, berakhir Minggu (27/10) tadi malam. Tepatnya jelang tengah malam. Lima juara dari lima nomor yang dipertandingkan di final, sudah naik podium pemenang.

Kabar bagusnya, Indonesia meraih dua gelar di nomor ganda putra dan ganda campuran. Menariknya, dari lima juara tersebut, ada satu nama yang tidak disangka-sangka bakal juara.

Bila kita menyebut nama Marcus Gideon/Kevin Sanjaya sebagai juara di ganda putra, itu kabar biasa. Lha wong ini gelar ketujuh Marcus/Kevin di tahun ini. Ganda putra rangking 1 dunia ini juara usai mengalahkan pasangan kejutan asal India, Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Shetty dengan skor 21-18, 21-16.

Lalu di ganda putri, tampilnya pasangan Korea, Lee So-hee/Shin Seung-chan sebagai juara usai memenangi "All Korea final", juga bukan kabar mengejutkan. Karena memang, ganda putri Korea di tahun ini berhasil mematahkan dominasi Jepang.

Sukses ganda campuran Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti juga sudah bisa diprediksi. Usai pekan lalu jadi juara di Denmark Open, Praveen/Melati yang tengah tampil on fire, memang berpeluang kembali juara. Terbukti, tadi malam, mereka mengalahkan unggulan 1 asal Tiongkok, Zheng Siwei/Huang Yaqiong lewat rubber game 22-24, 21-16, 21-12.

Begitu juga sukses Chen Long (Tiongkok) meraih gelar juara di tunggal putra, tidaklah mengherankan. Chen Long yang di final mengalahkan Jonatan Christie, merupakan juara bertahan. Apalagi, peraih medali emas Olimpiade 2016 ini mulai menemukan kembali form terbaiknya yang sempat hilang.

Namun, ketika menyebut juara tunggal putri adalah anak muda Korea Selatan, An Se Young yang baru berusia 17 tahun, kita pasti akan bergumam, "kok bisa?".

Ya, wajar bila ada banyak orang yang tidak percaya bila bocah kelahiran Gwangju, Korea Selatan itu bisa juara di turnamen BWF World Tour level Super 750. Sebab, persaingan di tunggal putri sangat ketat. Bahkan bisa dibilang paling ketat dibandingkan empat nomor lainnya. Sebab, ada delapan pemain top dunia yang punya kualitas nyaris berimbang dan berpeluang juara.

Apalagi, di final, An Se Young harus menghadapi Carolina Marin asal Spanyol. Pecinta bulutangkis pastinya paham bagaimana kualitas dan mental tanding Marin. Juara dunia tiga kali. Juara Eropa empat kali. Juga peraih medali emas Olimpiade 2016.

Terlebih, Marin yang tenga berupaya menaikkan peringkat BWF nya pascakembali dari cedera panjang, kini sedang 'ganas-ganasnya'. Bayangkan, di semifinal, Marin menang dengan 'skor sadis' atas pemain rangking 1 dunia, Tai Tzu Ying, 21-16, 21-9.

Sementara An Se Young bukanlah pemain unggulan. Terlepas predikatnya sebagai "bocah ajaib", masih menjadi pertanyaan besar apakah dia bisa mengimbangi Marin. Apakah mentalnya kuat dengan gaya Marin yang acapkali mengintimidasi mental lawan lewat teriakan-teriakan kerasnya di lapangan.

Apalagi, di pekan sebelumnya, di perempat final Denmark Open, An Se Young kalah rubber game dari Marin. Gadis kelahiran 5 Februari 2002 ini sempat menang 21-18 di game pertama. Namun, dia lantas merasakan betapa Marin punya kematangan dalam bermain. Sulit ditaklukkan.

An Se-young mengalahkan juara dunia tiga kali dan peraih emas Olimpiade 2016

Namun, di final French Open 2019 tadi  malam, ceritanya sangat berbeda. An Se-young rupanya sudah banyak belajar dari kekalahannya dari Marin di Odense, Denmark pekan sebelumnya.

Ketika masuk ke lapangan, jelas terlihat, dia tidak minder meski tampil di laga pertama final. Pembawaannya kalem. Sorot matanya tenang. Seolah berkata kepada Marin: "aku tidak takut kepadamu".

Dan memang, An Se-young tidak takut menghadapi Marin. Beberapa kali dia menghujamkan smash sukses. Beberapa kali pula dia memakasa Marin jatuh bangun di lapangan.

Dia mau capek. An Se-young bukan pemain yang malas lari. Dia mengejar setiap shuttlecock yang datang ke area lapangannya. Foot work dan kelenturan badannya juga keren. Beberapa kali dia mampu mengembalikan bola-bola sulit di depan net. Melihat An Se-young, kita seakan melihat kembali Mia Audina muda tampil di lapangan di tahun 1996 silam.

Meski begitu, dia kembali merasakan, betapa Marin memang salah satu yang terhebat di dunia di olahraga ini. Di game pertama, dia beberapa kali dibuat mati langkah oleh pemain berusia 26 tahun itu. An Se-young kalah 16-21.

Di game kedua, gilira An Se-young yang memperlihatkan kepada Marin bahwa dirinya bukan bocah biasa. Akurasi pukulan dan permainan netnya luar biasa. Jarang sekali melakukan error. Puncaknya terjadi ketika skor 20-15. Satu poin lagi, An Se-young bakal memenangi game kedua.

Namun, Marin ternyata mendapatkan tiga poin beruntun, 18-20. Berulang kali, Marin mencoba mengintimidasi mental anak muda itu lewat teriakan membahananya ketika mendapatkan poin.

Toh, An Se-young tetap tenang. Dia tidak cemas bila Marin bisa mengejar poinnya. Lantas, sebuah smash yang tak mampu dikembalikan Marin, menutup game kedua. An Se-young memperlihatkan dirinya bisa mengatasi momen menegangkan.

Di game ketiga, An Se-young lagi-lagi 'pamer' bila 'batere staminanya" masih penuh untuk bermain hingga akhir. Sementara Marin justru seperti 'lupa' permainannya sendiri. Akurasi pukulannya parah. Banyak keluarnya. An Se-young bahkan bisa unggul 11-3 di interval pertama.

Di interval kedua, An Se-young semakin merajalela. Sementara Marin seperti bingung harus ngapain lagi ketika pukulan drive shot maupun smashnya, bisa dikembalikan. 

An Se-young lantas meraih sembilan poin beruntun, 20-3. Marin sempat meraih dua angka. Namun, sebuah drop shot cantik dari An Se-young, mengakhiri perlawanan Marin. Astaga, juara dunia cuma dikasih skor 20-5.

An Se-young/sumber: bwfworldtourfinals.bwfbadminton.com
An Se-young/sumber: bwfworldtourfinals.bwfbadminton.com

Sesaat setelah An Se-young menuntaskan laga dan merayakan kemenangannya di final, Oma Gill--sang komentator tenar bulutangkis itu, lantas berucap "a celebration from new star, an extraordinary performance in a final".  

Apakah kemenangan An Se-young sekadar kebetulan karena Marin sedang off day? Begini jawaban Marin yang dilansir dari sporstar.thehindu.com.

"I tried to win in two games because I knew going to a third would be tough. But she played really well and I just made too many mistakes in the second and third," ujarnya.

Ya, Marin mengakui bila An Se-young memang bermain bagus. Dia juga mengakui, dirinya sebenarnya tidak mau bila laga berlanjut di game ketiga karena paham kemampuan lawan yang lebih muda sembilan tahun darinya.

Dan memang, final tadi malam  bak klimaks dari penampilan apik An Se-young di turnamen ini. Sebelumya, gadis bertinggi badan 170 cm ini tampil hebat di semifinal. Dia mengalahkan unggulan 2 asal Jepang, Akane Yamaguchi. Juara bertahan itu dia kalahkan dua game langsung. 

Di perempat final, dia mengalahkan unggulan 8 asal India, Saina Nehwal. Juga lewat straight game. Malah, di babak awal, An Se Young menang telak atas salah satu pemain top Thailand, Busanan Ongbamrungphan, 21-10, 21-12.

Warganet bandingkan An Se-young dengan tunggal putri Indonesia

Saya pribadi tidak terlalu terkejut An Se-young jadi juara. Karena memang, selama ini, dia sudah terbiasa mengatasi ketegangan di final. Nyatanya, tahun ini dia sudah juara tiga kali. Yakni di New Zealand Open Super 300, Canada Open Super 100, dan Akita Masters Super 100. Gelar di French Open 2019 adalah yang keempat baginya.

Merespons sukses An Se-young, saya tertarik membaca reaksi dari warganet. Utamanya para badminton lovers (BL) Indonesia. Biasanya, kabar kemenangan pebulutangkis luar negeri, tidak terlalu menarik bagi BL Indonesia. Namun, An Se-young bak menjadi magnet yang menarik para BL untuk berkomentar.

Nyatanya, di akun Instagram Badmintalk_com, ada hampir 2000 komentar dari BL Indonesia yang mengomentari kemenangan An Se-young atas Marin. Beberapa komentarnya menarik dan lucu. 

Seperti ini: "Main rapi, usia muda, konsisten, mau sabar, pantang menyerah, ini the real giant killer". "Kento Momotanya WS (Women Single), susah dimatikan". "Keren ini anak. Baru bangun tidur aja bisa segarang itu mainnya"-merujuk penampilan An Se-young yang rambutnya bak belum sisiran.

Dan, tentu saja, pecinta bulutangkis langsung membandingkan pencapaian An Se-young dengan tunggal putri Indonesia. Terlebih, dua tunggal putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung dan Fitriani yang lebih tua usianya, prestasinya masih "jalan di tempat". Bahkan cenderung menurun.

Ada warganet yang berkomentar begini: "Buat evaluasi WS Indonesia. Ini 17 tahun lho, tapi mental baja". Malah ada yang ngelawak dengan berkomentar: "Dinaturalisasi saja, biar ada juara tunggal putri Indoensia".

Tetapi memang, melihat pencapaian An Se Young, timbul rasa cemburu. Secara tidak langsung, kita akan membandingkan dengan penampilan tunggal putri kita. Kita akan spontan berujar: "kapan Indonesia punya tunggal putri seperti dia". Singkat kata, An Se-young adalah bocah yang lama diimpikan bulutangkis Indonesia.

Maklum, dalam sedekade terakhir, kita tidak punya tunggal putri yang mampu bersaing di level top dunia. Tahun 2008 lalu, kita pernah punya Maria Kristin Yulianti. Di tahun itu, di usia 23 tahun, pebulutangkis kelahiran Tuban, Jawa Timur ini meraih medali perunggu Olimpiade. Setahun sebelumnya, Maria Kristin meraih medali emas SEA Games.

Terlebih, hingga kini, Gregoria Mariska (20 tahun) dan Fitriani (20 tahun) masih kesulitan bersaing dengan tunggal putri top dunia. Sebagai contoh. Dua pekan lalu di Denmark Open, Gregoria kalah dari Pusarla Sindu di babak pertama. Gregoria kalah 20-22, 18-21 dari juara dunia 2019 asal India itu. Yang terjadi kemudian, di putaran kedua, eh Sindhu malah dikalahkan An Se-young dua game langsung, 21-14, 21-17.

PBSI sudah berusaha, tapi prestasi tunggal putri masih mentok

Sebenarnya, tunggal putri kita sempat memberi kabar bagus di awal tahun. Fitriani bisa juara di Thailand Master Super 300. Namun, setelah itu, WS kita kembali pada kebiasaan lama. Tersingkir cepat di beberapa turnamen yang diikuti.

PBSI sebenarnya sadar bila tunggal putra kita sulit berkembang. Akhir Maret lalu, PBSI mendatangkan Rionny Mainaky untuk membesut tunggal putri. Rionny merupakan mantan pelatih WS Jepang yang pernah mengorbitkan Nozomi Okuhara, juara dunia 2017. Dia diharapkan bisa mengangkat performa WS Indonesia.  

Kehadiran Rionny sebenarnya mampu membuat Gregoria Mariska dan Fitriani mulai berubah dalam cara bermain. Namun, keduanya masih sulit bersaing di level atas. Ketika bertemu pemain top 10 dunia, mereka hanya sebatas bisa merepotkan. Belum bisa menang. Mereka juga acapkali masih kedodoran staminanya bila memainkan game ketiga.

Padahal, dari sisi skill, Gregoria Mariska sebenarnya tidak kalah. Dia bahkan punya prestasi lebih mentereng dari An Se-young di level junior. Gregoria merupakan juara dunia BWF World Junior Championship 2017 di Yogyakarta. An Se-young tak pernah jadi juara dunia.

Bahkan, di Kejuaraan Dunia junior 2017 silam, An Se-young yang berusia 15 tahun, juga ikut tampil. An Se-young terhenti di putaran keempat usai kalah rubber game dari pemain Thailand, Phittayaporn Chaiwan. Nah, Chaiwan terhenti di perempat final usai kalah dari pemain Tiongkok, Cai Yanyan. Lantas, Yanyan ini dikalahkan Gregoria di semifinal.

Namun, dua tahun kemudian, mengapa kemudian An Se-young bisa meroket. Bahkan menjadi pemain muda yang bisa mengobrak-abrik kenyamanan para tunggal putri top dunia. Sementara Gregoria Mariska masih kesulitan untuk mengalahkan pemain-pemain top dunia. Apalagi jadi juara turnamen BWF. Kali terakhir Gregoria juara di turnamen Finnish Open pada April 2018 yang merupakan turnamen level International Challenge.

Toh, dengan usia mereka yang masih 20 tahun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Selama mau bekerja keras, mau mengasah skill dan menggenjot stamina, mau belajar dari kesalahan, dan mau mempelajari permainan lawan, mereka bisa meningkatkan level kualitas permainan.

Meski, PBSI juga harus tegas dan pandai-pandai memotivasi mereka. Jangan sampai mereka merasa ada dalam zona nyaman karena menjadi andalan di tunggal putri tetapi perkembangannya begitu-begitu saja.

PBSI juga perlu mempromosikan beberapa pemain muda Indonesia yang bulan lalu tampil lumayan bagus di Kejuaraan Dunia junior yang berlangsung di Rusia. Diantaranya ada Putri Kusuma Wardhani (17 tahun) dan Stephanie Widjaja (16 tahun). Tahun depan, sepertinya perlu memberikan mereka kesempatan untuk naik ke level senior dan mencicipi persaingan di level international challenge ataupun BWF World Tour Super 100.

Untuk saat ini, kita hanya bisa mengagumi penampilan An Se-young. Sembari berharap, kehadiran bocah ajaib asal Korea itu membuat Gregoria dan Fitriani lebih termotivasi. Ya, jangan mau kalah dengan bocah yang baru berusia 17 tahun. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun