Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Musibah, Juara, dan Pelajaran Hidup dari Carolina Marin

23 September 2019   08:00 Diperbarui: 26 September 2019   02:10 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Carolina Marin, juara di China Open 2019 setelah enam bulan menepi dari lapangan akibat cedera parah/Foto: Xinhua.net


Masa awal tahun seharusnya jadi periode tepat untuk mengejar target-target yang ingin dicapai. Bahwa, kita harus langsung berlari kencang. Mumpung semangat tengah membuncah. 

Apalagi, pencapaian bagus di awal tahun, bisa berpengaruh pada kelanjutan mood. Seba, kita akan semakin termotivasi melakoni 'perjuangan' di bulan-bulan berikutnya.

Masalahnya, hidup terkadang berjalan tak sesuai rencana. Ia tak selalu terlihat manis. Malah, ia terkadang begitu bengis. Semua rencana yang diimpikan, bisa lenyap karena musibah tidak terduga.

Gambaran hidup seperti itulah yang dialami pebulutangkis manis asal Spanyol, Carolin Maria Marin Martin. Berstatus juara dunia 2018, Marin berharap meraih lebih banyak prestasi apik di tahun ini.

Beberapa target besar dibidik. Yang paling utama kembali jadi juara dunia. Ia juga memimpikan tiga gelar BWF World Tour tertinggi (level Super 1000): All England 2019, Indonesia Open 2019, dan China Open.

Namun, baru di awal tahun, pebulutangkis kelahiran 15 Juni 1963 ini seperti dipaksa melupakan mimpi-mimpinya. Marin mengalami cedera lutut parah ketika tampil di Indonesia Masters 2019. Ironisnya, cedera itu terjadi di pertandingan final. Bahkan, dia tengah unggul 10-4 dari lawannya asal India, Saina Nehwal.

Dengan berurai air mata sembari menahan rasa sakit, Marin keluar lapangan. Ia tak mungkin melanjutkan final. Ia harus merelakan gelar di awal tahun jadi milik Saina.

Cedera parah, sempat enam bulan lebih menepi dari lapangan
Di hari itu juga, Marin langsung kembali ke Madrid. Hasil obersevasi cedera dari dokter, memunculkan vonis 'mengerikan'. Dia harus menepi dari lapangan selama enam bulan lebih. Demi menjalani penyembuhan, dia harus bersiap naik ke meja operasi.

Itu artinya, Marin akan melewatkan kesempatan tampil di beberapa kejuaraan penting. Dia tidak akan mungkin tampil di All England Open pada bulan Maret. Dia juga bakal absen di Indonesia Open di bulan Juli. Dan yang paling menyesakkan, ia tidak akan bisa mempertahankan gelarnya di Kejuaraan Dunia di bulan Agustus.

Memang, dokter memprediksi dia akan pulih dalam waktu enam bulanan. Namun, tentunya butuh waktu lebih lama untuk kembali dalam kondisi terbaik. Juga permainan terbaiknya.

Carolina Marin saat cedera di final Indonesia Masters 2019/Foto: Bola.com
Carolina Marin saat cedera di final Indonesia Masters 2019/Foto: Bola.com
Dan memang, bagi seorang atlet, cedera adalah musibah. Musibah paling mengerikan. Bukan hanya karena mereka harus menjauh dari lapangan selama beberapa lama. 

Namun, yang paling mengerikan, mereka dibayangi kekhawatiran tidak lagi bisa tampil seperti sedia kala pascapulih dari cedera. Ada rasa trauma. Trauma itulah yang menghantui mereka untuk kembali ke level terbaik.

Faktanya, ada beberapa pebulutangkis top dunia yang mengalami kejadian seperti itu. Salah satunya mantan ratu bulutangkis asal Tiongkok, Li Xuerui. Li merupakan peraih medali emas Olimpiade 2012. Empat tahun kemudian, di usia 25 tahun, Li ingin kembali meraih emas Olimpiade 2016.

Yang terjadi, dia mengalami cedera parah di babak semifinal. Dan, sebuah kebetulan, yang menjadi lawan Li kala itu adalah Carolina Marin.

Setelah cukup lama menjalani serangkaian pemulihan cedera, sejak tahun lalu, Li Xuerui kembali bermain. Namun, pemain berusia 28 tahun ini tak lagi seperti dulu. Dia sulit kembali di level atas.

Toh, tidak semua pemain sama. Setiap orang punya level berbeda dalam mengatasi traumanya. Setiap orang punya optimisme berbeda. Mereka yang optimistis akan percaya bahwa selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya untuk bangkit.

Marin termasuk orang yang kuat. Mentalnya hebat. Dia tak mau kalah dari cedera. Simak apa yang dia sampaikan di akun Twitternya ketika dokter memberikan vonis dia harus absen enam bulan.

"Saatnya untuk bersiap menghadapi perjuangan paling berat. Tapi saya sangat yakin kalau saya nanti akan kembali lebih kuat," kata Marin.

Yang terjadi kemudian, Marin pun menghilang dari hingar-bingar bulutangkis dunia. Dia hanya bisa memantau, para pesaingnya meraih gelar.

Chen Yufei jadi 'ratu' di All England 2019. Lalu Akane Yamaguchi jadi juara Indonesia Open. Bahkan, pemain Jepang ini lantas menggeser Tai Tzu-ying dari predikat rangking 1 dunia tunggal putri.

Marin juga hanya bisa melihat, tunggal putri India, Pusarla Sindhu, yang ia kalahkan di final Kejuaraan Dunia 2018 dan Olimpiade 2016, tahun ini bisa menjadi juara dunia.

Sementara Marin sendiri, karena tak pernah bertanding, rangkingnya terus menurun. Dari  awalnya di peringkat 4, turun tajam ke rangking 24 dunia.  

Toh, dia tak terlalu cemas dengan hal itu. Baginya, terpenting segera pulih dan kembali ke lapangan. Sesekali, di akun media sosialnya, dia membagikan foto pemulihan cedera yang dilakukannya. Termasuk melakukan latihan seminggu setelah menjalani operasi.

Juara China Open 2019, Marin membuktikan punya mental kuat
Akhirnya, awal September lalu, Marin merasa siap kembali ke lapangan. Dia tampil di turnamen Vietnam Open Super 100. Merujuk pada levelnya yang hanya Super 100 sehingga tidak ada pemain top dunia yang tampil, semua tahu bahwa Marin hanya ingin melepas rindu. Dia hanya ingin merasakan atmosfer pertandingan setelah lama menepi.

Yang terjadi, Marin langsung tersingkir di babak pertama. Dia dikalahkan  pemain rangking 52 dunia asal Thailand, Supanida Katethong. Toh, bagi Marin, dia sukses melakukan pemanasan. Dia tidak kalah dengan skor mencolok. Kalah 22-24, 20-22 dalam penampilan perdana setelah cedera panjang, tentunya tidak memalukan.

Dan kita akhirnya paham. Ternyata, penampilan di Vietnam Open Super 100 itu memang hanya pemanasan bagi Marin. Sepekan kemudian, di turnamen level tertinggi yang diikuti semua pemain top dunia, China Open Super 1000, kita bisa melihat, ratu bulutangkis asal Spanyol itu telah kembali.

Ya, Minggu (22/9) sore kemarin, Marin tampil sebagai juara China Open 2019 usai mengalahkan pemain top Taiwan, Tai Tzu-ying lewat rubber game. Untuk pemain yang baru cedera panjang, gelar itu istimewa. Bahkan, gelar ini lebih hebat dibanding raihan China Open 2018 yang dilalui Marin.

Kok bisa?

Sebab, Marin tampil di China Open 2019 sebagai pemain non unggulan. Imbas rangkingnya yang ada di luar 8 besar. Fakta itu membuatnya harus menghadapi pemain-pemain top sejak babak awal. Jalan yang sungguh sulit.

Namun, justru dari jalan sulit itu, kita bisa melihat betapa besar tekad Marin untuk bangkit setelah dihantam musibah cedera panjang. Kita bisa tahu betapa besar semangat Marin untuk meraih gelar pertamanya tahun ini. Sekaligus, kembali ke posisi elit tunggal putri dunia. Posisi yang pernah dihuninya.

Coba kita tengok kembali perjalanan Marin di China Open 2019. Di putaran pertama, dia bertemu juara dunia 2017 asal Jepang, Nozomi Okuhara yang menempati unggulan 4. Di China Open tahun lalu, Okuhara menjadi lawannya di semifinal. Marin yang bugar, harus melakoni rubber game.

Namun, siapa sangka, kali ini dia menang meyakinkan, 21-16, 21-18. Dia kembali menang straight game 21-17, 21-12 atas Zhang Beiwen asal AS di putaran dua. Baru di perempat final, Marin bak melewati jalan terjal.

Bertemu pemain andalan tuan rumah, He Bingjiao (unggulan 7) di perempat final, Marin kalah 11-21 di game pertama. Toh, dia bisa bangkit di game kedua, menang 21-14. Lantas, memenangi game ketiga 21-15.

Situasi serupa dialaminya di semifinal. Ketika melawan Sayaka Takahashi (Jepang) di semifinal, Marin juga kalah di game pertama. Tapi lantas bangkit di dua game berikutnya. Begitu juga saat menghadapi Tai Tzu-ying (TTY) di final. Marin kalah 14-21 oleh TTY yang tengah on fire.

Namun, semangat TTY untuk meraih gelar ketiganya di tahun 2019 ini, kalah besar dari semangat Carolina Marin untuk bangkit setelah dihantam musibah cedera. Marin lantas menang 21-17 dan 21-18. Dia pun meraih gelar pertamanya di tahun ini.

Pencapaian hebat Carolina Marin di China Open 2019, tidak hanya menjadi kemenangan pribadinya. Namun, kemenangan pemain dengan postur 172 cm ini menjadi pesan bagi kita. Ada pelajaran hidup dari sukses Marin.

Bahwa, ketika musibah datang tanpa diduga, penting untuk memiliki sikap yang benar dalam menghadapinya. Tak perlu meratapi. Kita hanya perlu introspeksi. Sembari menjaga motivasi untuk tidak kalah, apalagi menyerah.

Sebab, bagi mereka yang optimistis, akan selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya untuk kembali bangkit. Seperti Marin yang kembali lebih kuat setelah mengalami musibah hebat dalam kariernya. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun