Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas "Babak Belur" dan Pepatah "Ono Rego Ono Rupo"

11 September 2019   08:48 Diperbarui: 11 September 2019   22:24 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia kembali babak belur di kandang sendiri. Usai dikalahkan Malaysia, tadi malam dipermalukan Thailand 0-3 di Kualifikasi Piala Dunia 2022/Foto: Kompas.com

Tumbuh besar di keluarga dengan pendekatan Jawa Timuran, membuat saya jadi paham, bahwa dalam kesehariannya, orang Jawa itu punya beberapa ungkapan menggelitik tapi sarat pesan baik. Ungkapan sebagai luapan rasa syukur, sekaligus bentuk kepasrahan menerima yang terjadi.

Diantaranya ungkapan sawang-sinawang. Maksudnya, ketika kita mulai membandingkan hidup kita dengan orang lain, kita diingatkan bahwa bila kita merasa hidup orang lain enak, bisa jadi orang lain melihat hidup kita lebih enak. Dengan begitu, akan muncul rasa syukur. Bukannya mengeluh karena prinsip "rumput tetangga lebih hijau".

Ada pula ungkapan "untung aeh". Ini biasanya muncul ketika ada yang mendapat musibah. Semisal terjatuh dari motor ketika berkendara di jalan, orang Jawa masih mencari kabar bagusnya. "Untung motornya saja yang penyok, orangnya tidak apa-apa". Itu bentuk kepasrahan sekaligus bersyukur melihat sisi baiknya.

Termasuk ungkapan "ono rego ono rupo" yang berarti "ada kualitas pastinya sesuai dengan harganya". Maknanya, ketika kita hanya bisa membeli barang yang berharga tidak mahal---untuk tidak menyebut murahan, lantas barangnya mudah rusak, kita tak perlu marah-marah. Kita hanya perlu berujar, "ono rego ono rupo".

Itu juga bentuk kepasrahan. Bahwa kita memang mampunya sebatas membeli barang seharga segitu sehingga sadar risikonya. Kalau mau yang bagus, ya harus mau mengeluarkan duit banyak.

Saya mendadak teringat dengan beberapa ungkapan Jawa tersebut setelah menyaksikan penampilan mengecewakan Timnas Indonesia tadi malam. Indonesia dipermalukan Thailand, 0-3 di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta pada pertandingan kedua Kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Zona Asia.

Ini kekalahan kedua Indonesia. Di laga pertama, Tim Garuda juga dipermalukan Malaysia 2-3, Kamis (5/9). Dengan demikian, Indonesia kini ada di posisi 'juru kunci'. Meski sudah dua kali bermain, Indonesia menjadi satu-satunya tim yang belum mendapatkan poin di Grup G. 

Sementara empat tim lainnya semuanya sudah mengoleksi poin. Uni Emirat Arab yang baru main tadi malam, berhasil meraih tiga poin setelah mengalahkan Malaysia 1-2 di Kuala Lumpur. Sementara Vietnam yang baru bermain sekali, sudah memiliki satu poin--hasil bermain 0-0 dengan Thailand (5/9).

Rindu Timnas Indonesia bermain seperti era Luis Milla

Lalu, apa kaitannya kekalahan Timnas Indonesia tadi malam dengan ungkapan Jawa seperti yang saya tuliskan di atas?

Saya mendadak teringat nama Luis Milla Aspas. Lebih tepatnya rindu dengan pelatih asal Spanyol yang pernah melatih Timnas pada periode 20 Januari 2017 hingga 24 Agustus 2018 silam. Betapa tidak rindu Milla, penampilan Timnas dalam dua laga kualifikasi Piala Dunia 2022 ini sungguh..(entah kata apa yang cocok untuk melanjutkannya).

Bukan hanya saya yang rindu Milla. Usai kekalahan dari Malaysia, beberapa akun Instagram yang selama ini sangat rajin mengabarkan perkembangan Timnas dan sepak bola nasional, juga langsung memunculkan tanda pagar (tagar): #KembalikanLuisMilla.

Beberapa dari mereka lantas memunculkan cuplikan permainan dan gol-gol Timnas ketika dilatih Milla. Betapa pemain terlihat antusias dan semangatnya meledak ketika bermain. Gol-gol yang diciptakan pemain-pemain Timnas juga bermula dari permainan variatif. Ada skema rapi dengan umpan-umpan pendek yang lantas diakhiri kemunculan pemain yang bergerak tanpa bola alias 'coming from behind'.  

Itulah salah satu alasan mengapa saya rindu permainan Timnas di era Luis Milla. Rindu Milla. Sebab, selain terbukti mampu mewarnai permainan Timnas, pelatih berusia 53 tahun tersebut juga piawai menghidupkan suasana dengan pemain-pemain dan bahkan staf pelatih.

Memang, Milla tak bisa membawa Indonesia meraih trofi. Prestasi maksimalnya 'hanyalah' runner-up Aceh World Solidarity Tsunami Cup. Namun, melatih timnas itu memang butuh proses yang bahkan mungkin panjang. Nah, untuk tahu apakah prosesnya sudah jalan, kita bisa melihat dari cara bermain dan antusiasme pemain di lapangan. Dalam hal ini, proses Milla sudah benar.

Masih ingat bagaimana penampilan Timnas di Asian Games 2018 lalu? Indonesia meraih prestasi terbaik dalam penampilan di Asian Games dengan lolos ke babak 16 besar setelah meraih tiga kemenangan di fase grup. Menang atas Taiwan, Laos dan Hongkong. Indonesia bahkan menjadi juara grup, di atas Palestina.

Lho, bukannya Indonesia juga lolos ke babak 16 besar di Asian Games 2014, mengapa edisi 2018 yang terbaik? Sebab, di 2014, kita lolos 'secara pahit'. Meski menang atas Timor Leste dan Maladewa, tetapi Indonesia lantas dibantai Thailand 0-6 di laga akhir grup. Kemudian, dikalahkan Korea Utara 4-1 di babak 16 besar. 

Bandingkan dengan Indonesia di babak 16 besar Asian Games 2018. Sampean (Anda) mungkin masih ingat salah satu momen terbaik bagi sepak bola Indonesia. Ketika Indonesia menghadapi Uni Emirat Arab (UEA). Hingga menit ke-90, UEA unggul 2-1. Dua gol UEA dicetak dari penalti. Normalnya, Indonesia hanya tinggal tunggu waktu menerima vonis kalah.

Yang terjadi, di menit ke-95, Lilipaly mencetak gol penyama skor. Seluruh isi stadion Wibawa Mukti di Cikarang bergemuruh. Itu sungguh momen yang bikin bangga. Betapa pemain punya semangat besar untuk tidak mau kalah.

Sayangnya, kita belum beruntung. Kita akhirnya kalah adu penalti 3-4 sehingga gagal ke perempat final. UEA akhirnya jadi tim peringkat tiga dan meraih perunggu. Bayangkan, kita dulu bisa gagah berani dan tidak kalah melawan tim terbaik ketiga di Asia. Catat: Asia !

Bagaimana penampilan Timnas tadi malam?

Ah, saya tidak tega menulisnya. Tulisan pak Achsanul Qosasih di akun Instagramnya, mungkin bisa mewakili. Pak Achsanul, presiden klub Madura United yang selama ini cerdas dan kritis dalam menyikapi sepak bola nasional, menuliskan kalimat begini "Kita memang kalah segalanya. Yang pasti kekalahan ini bukan salah pemain. Jangan bilang lagi pemain kelelahan Yang pasti, malam ini pemain kebingungan..!!"  

Luis Milla dan Pepatah "Ono Rego Ono Rupo"

Lalu, bila Milla sudah membawa Indonesia di jalur yang benar, mengapa dia tidak 'awet' melatih Timnas?

Sampean mungkin paham jawabannya. Ya, sudah menjadi rahasia umum yang acapkali diulas media, bahwa kabarnya kontrak Luis Milla 'tidak murah'. Bahkan, dulu sempat muncul suara dari suporter yang rela menggalang dana demi membayar Milla agar tetap melatih Timnas seandainya PSSI tidak sanggup menggajinya. Yang terjadi kemudian, sampean tahun sendiri.

Saya kurang paham apakah Milla berhenti melatih Timnas karena masalah gaji tersebut atau ada penyebab lain. Meski, beredar kabar bahwa Milla sebenarnya senang melatih Indonesia. Nyatanya, ketika tidak lagi melatih, ketika Timnas akan tampil, dia selalu memotivasi pemain dan mengucapkan doa terbaik agar Timnas sukses lewat akun Instagramnya. Itu bukti, Milla masih punya hati untuk Timnas Indonesia.

Yang jelas, bila membandingkan penampilan Timnas di era Milla dengan era sekarang, ungkapan "ono rego ono rupo" itulah yang akhirnya bicara. Bahwa, ada harga ada kualitas. Bila memang gaji Milla tinggi, itu memang setara dengan kemampuan dan kualitasnya.

Ya, bagaimana tidak mahal, lha wong Milla pernah membawa Timnas Spanyol U-21 jadi juara Piala Eropa U-21 tahun 2011 silam. Di final, Spanyol mengalahkan Swiss yang diperkuat Xherdan Shaqiri dan kawan-kawannya dengan skor 2-0. Piala Eropa lho. Bagi seorang pelatih, itu bukan 'curriculum vitae' sembarangan.

Bahkan, Milla yang memang dikenal senang dengan pemain muda, berhasil mengorbitkan beberapa pemain muda seperti David de Gea, Juan Mata, Ander Herrera, Javi Martinez, Adrian Lopez dan Thiago Alcantura. Semuanya kini menjadi pemain top.

Imbas dua kekalahan, peluang Indonesia menipis

Ah, tapi sudahlah. Itu masa lalu. Merindu dia yang telah menjadi 'mantan', justru akan menambah rasa sakit. Kita hanya akan terbuai masa lalu sementara kita menghadapi masalah pelik sekarang ini.

Dua kekalahan dari Malaysia dan Thailand jelas mengancam peluang Indonesia dalam upaya lolos dari Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia. Bahkan, mungkin tidak sebatas mengancam, peluang Indonesia kini sudah sangat tipis untuk bersaing dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Uni Emirat Arab. Kecuali bila Indonesia mampu menyapu bersih enam pertandingan berikutnya dengan kemenangan.

Apalagi, di pertandingan berikutnya pada pertengahan Oktober mendatang, Indonesia akan away ke Uni Emirat Arab pada 10 Oktober. Lantas, menjamu Vietnam pada 15 Oktober. Kemudian di awal 'putaran kedua', away ke Kuala Lumpur menghadapi Malaysia pada 19 November.  

Menariknya, dalam jumpa pers seusai kekalahan dari Thailand, Pelatih Timnas Indonesia, Simon McMenemy ikut menyebut nama Milla. Dikutip dari Football5star.com, McMenemy menyebut Milla dulunya pun mendapat hujatan di awal melatih. Dia menyebut dirinya baru enam bulan melatih Timnas.

"Kita tak bisa menghakimi timnas yang baru enam bulan terbentuk. Sama ketika Luis Milla melatih. Dia sempat dihujat tapi kita harus lihat ekspektasinya," ungkap Simon.

"Mungkin kita harus kalah. Tetapi, pemain saya bermain secara profesional. Kita harus tatap ke depan. Laga selanjutnya ada Uni Emirat Arab," sambung Simon dikutip dari Football5star.

Simon McMenemy benar, melatih timnas memang butuh waktu. Tidak bisa sim salabim langsung bagus hanya dalam waktu enam bulan. Semua pelatih membutuhkan proses di awal melatih.

Namun, sebagai suporter, kita juga bisa melihat apakah prosesnya sudah on track atau malah belum ada progress menggembirakan. Selama enam bulan, seharusnya sudah terlihat ciri khas permainan yang diinginkan sang pelatih.

Waktu setengah tahun juga cukup bagi pelatih untuk membangun kedekatan dengan pemain-pemainnya. Sehingga, pelatih bisa paham kelebihan dan kekurangan pemain-pemainnya. harapannya, mereka bisa lebih percaya diri dan nyaman bermain.

Toh, lawan Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2022 ini bukanlah 'raksasa Asia'. Sebelum kualifikasi dimulai, beberapa mantan pemain Timnas juga bersuara optimistis bahwa Indonesia punya peluang bagus karena lawan-lawan yang dihadapi sudah sangat dikenal. 

Boleh dikata, Grup G ini sebenarnya berimbang. Bukan grup berat. Namun, kita ternyata babak belur di dua pertandingan awal. Dari kekalahan atas Malaysia dan Thailand, kita sebagai suporter bisa melihat, seperti apa corak permainan timnas dan bagaimana peluang kita kini.

Yang jelas, Simon kini tengah jadi sorotan. Bahkan, suporter Indonesia yang hadir langsung di SUGBK tadi malam, meneriakkan kalimat "Simon Out". Menyuruh pelatih asal Skotlandia ini agar mundur dari posisinya, jelas bentuk kekecewaan dari suporter.

Karenanya, saya mendadak teringat ungkapan "ono rego ono rupo" itu. Lho, memangnya  kontrak/gaji Simon McMenemy lebih murah bila dibandingkan Luis Milla? Entahlah. Monggo silahkan dijawab sendiri. Sebagai suporter, saya hanya bisa menilai bahwa permainan timnas di era McMenemy, tidak lebih oke dari era Milla. 

Apapun itu, saya masih belum bosan menyisipkan doa untuk Timnas kita agar bisa bangkit. Bagaimanapun, meski terkadang benci, kita masih cinta Timnas. Seperti ujaran seorang kawan, "mencintai sepak bola Indonesia, meski kusut". Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun