Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Membaca "Pesan Terselip" dari Perpisahan Liliyana Natsir

28 Januari 2019   17:54 Diperbarui: 29 Januari 2019   12:28 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila harus mendefinisikan karier Liliyana Natsir dalam satu kalimat, apa yang akan sampean (Anda) tulis? 

Pastinya akan ada banyak versi kalimat menarik. Karena memang, pebulutangkis putri kelahiran Manado ini memiliki banyak sisi positif.

Namun, salah satu kalimat menarik perihal karier Liliyana, pernah disampaikan mantan Ketua Umum PBSI, Gita Wirjawan. Beberapa waktu lalu, ketika Twitter menambah batasan kicauan jadi 280 karakter, Pak Gita kurang lebih bilang begini, "Meski (Twitter) bertambah karakternya, itu masih belum cukup untuk menuliskan prestasi Butet--panggilan "Liliyana Natsir".

Benar, 280 karakter Twitter itu memang tidak akan cukup untuk menceritakan deretan panjang prestasi Liliyana. Sejak berkarier di level junior di usia 17 tahun pada tahun 2002, Liliyana telah menjadi pebulutangkis putri Indonesia yang gelarnya paling lengkap.

Mulai gelar juara Asia junior, lima kali medali emas SEA Games, dua kali juara kejuaraan Asia, tiga kali juara All England yang konon merupakan turnamen bulutangkis tertua di dunia, empat kali juara dunia, hingga raihan medali emas Olimpiade 2016 yang merupakan pencapaian tertinggi. Serta, 39 gelar turnamen BWF maupun IBF.

Liliyana Natsir, berpamitan dari lapangan bulutangkis/Foto: Twitter Badminton Ina
Liliyana Natsir, berpamitan dari lapangan bulutangkis/Foto: Twitter Badminton Ina
Nah, kemarin, Minggu, 27 Desember 2019, Liliyana akhirnya menyudahi perjalanan panjangnya di bulutangkis selama 24 tahun sejak menggeluti olahraga ini. Final Indonesia Masters 2019 menandai penampilan terakhir Liliyana bersama pasangan sehatinya di lapangan, Tontowi Ahmad.

"Waktu terlalu cepat berlalu, i will definitely miss everything," tulis Liliyana di akun Instagramnya.

Memang, mereka tak mampu juara sebagai hadiah perpisahan paling manis setelah dikalahkan juara bertahan yang juga juara dunia 2018 asal Tiongkok, Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Toh, bukan hasil akhir final itu yang menjadi sorotan dunia.

Di akhir laga, Siwei/Yaqiong bahkan berebut perpelukan dengan Liliyana. Yaqiong malah mendapatkan jersey bertanda tangan Liliyana setelah pemain 24 tahun ini terlihat berbisik ke Liliyana seusai laga.

Bahkan, sebelum final, beberapa pasangan ganda campuran dunia seolah berebut ingin menjadi lawan Tontowi/Liliyana. Salah satunya ganda campuran Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, lawan Owi/Butet di final Olimpiade 2016. Ulangan final Olimpiade itu pun kesampaian di babak perempat final.

Liliyana seusai menghadapi ganda Malaysia/Foto: Bola.com
Liliyana seusai menghadapi ganda Malaysia/Foto: Bola.com
Di akhir laga yang dimenangi Owi/Butet, dua ganda senior ini "mesra-mesraan" di lapangan. Malah, dalam sebuah wawancara, Chan Peng Soon menyebut laga itu tidak ubahnya sebuah "friendly". Mereka puas, bisa melawan Owi/Butet untuk kali terakhir.

Yang lebih mengharukan lagi adalah pasangan Jepang juara All England 2018, Yuta Watanabe/Arisa Higashino. Arisa merupakan fans berat Liliyana. Mereka sangat ingin bertemu Owi/Butet di final. Namun, mereka dikalahkan Siwei/Yaqiong di semifinal. Toh, harapan Arisa terobati. Di luar laga, dia mendapatkan jersey Liliyana sembari berfoto bersama idolanya itu. 

Bahkan, di lini masa, tanda pagar (#) terimakasihbutet sempat menjadi trending topic. Ada banyak pebulutangkis top Indonesia dan dunia yang ikut menuliskan 'tanda pagar' itu. Termasuk mantan pebulutangkis Taufik Hidayat. Ah, Liliyana memang dicintai banyak orang.

Inspirasi dari pensiunnya Liliyana

Dari riuhnya perpisahan Liliyana dari bulutangkis tersebut, ada beberapa pesan terselip yang bisa kita ambil pelajaran. Ya, bukan hanya atlet, kita yang bukan atlet pun bisa mengambil hikmahnya. Apa?

Pensiunlah seperti Liliyana. Liliyana dihormati dan dikagumi banyak orang karena pencapaian hebatnya. Ya, pensiunlah dengan kebanggaan karena di sepanjang karir, kita benar-benar telah berbuat yang terbaik. Karier boleh berhenti, tetapi capaian prestasi akan menjadi cerita kekal.

Liliyana juga memberikan teladan bahwa urusan menjadi atlet bukan hanya tentang prestasi. Namun, juga tentang mencari kawan sebanyak-banyaknya. Sebab, bagaimanapun, seorang atlet adalah manusia. Di lapangan menjadi lawan, tetapi setelah pertandingan menjadi kawan. Dan, untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya, tidak ada cara lain selain menjaga sikap.

Liliyana paham, lapangan tidak ubahnya seperti kantor yang sakral. Bahwa sikap memegang peranan penting. Tidak boleh ada celah sikap di wilayah ini. Kesakralan tersebut terbentuk karena kerasnya persaingan dan tingginya perhatian publik. Liliyana sangat paham. Bila ingin mendapatkan respek, jangan sekali-kali bersikap buruk di lapangan.

Banyaknya rekan seprofesi, senior, juniornya, fans dan siapapun yang merasa kehilangan dengan pamitannya Liliyana dan memberikan doa baik agar ia semakin sukses di kehidupan berikutnya, menjadi bukti bahwa Liliyana mampu menjaga sikap baik selama belasan tahun di lapangan.

Dari beberapa testimoni junior-junior Liliyana di Pelatnas di akun Instagramnya, mudah menyimpulkan kalau dia bukan orang yang pelit ilmu. Dia juga acapkali memberikan saran dan motivasi kepada juniornya seperti Debby Susanto, Melati Daeva dan Gloria Widjaja untuk terus berkembang.

Ah ya, satu lagi, dari Liliyana kita juga bisa belajar tentang salah satu hal yang dikhawatirkan para pelaku olahraga. Yakni, kehidupan setelah pensiun. Bukankah dulu sempat bermunculan cerita mantan atlet yang merana hidupnya setelah pensiun. 

Malah, dulu ada beberapa pesepak bola top di Inggris yang ketika aktif bermain digaji ratusan juta hingga miliaran per pekan, yang lantas dikabarkan bangkrut. Bahkan ada yang menjual jersey hingga medalinya.

Pun, di tengah hingar-bingar pamitannya Liliyana dari bulutangkis kemarin, ada beberapa masyarakat dunia maya yang menyoroti masalah ini. Mereka berkomentar, atlet berprestasi seperti Liliyana, setelah pensiunnya tidak boleh merana.

Bukannya mendapat apresiasi, warganet tersebut malah jadi olok-olokan warganet lainnya yang memang terkenal gercep alias gerak cepat dalam merespons komentar. Malah ada yang menyarankan agar banyak membaca sebelum berkomentar.

Ya, Liliyana memang bukan pebulutangkis yang terancam merana di masa senjanya. Justru, dia sudah punya banyak rencana. Sudah menjadi rahasia umum, selepas penisun dari bulutangkis, dia berencana untuk menggeluti bidang bisnis. Di antaranya bisnis properti dan refleksi.

Apalagi, oleh pemerintah, Liliyana bersama Tontowi, atas prestasinya meraih medali emas Olimpiade 2016, sudah diangkat menjadi abdi negara (PNS) melalui formasi khusus dari kalangan atlet berprestasi berdasarkan capaian prestasinya mulai dari tingkat dunia maupun tingkat ASEAN.

Dari Liliyana, para atlet yang mantap menekuni jalur olahraga juga para orang tua yang anaknya bermimpi menjadi atlet, bisa bercermin bahwa mereka tidak perlu cemas memikirkan pekerjaan mereka di masa depan selepas pensiun dari lapangan. Tentu saja ada syaratnya. Harus bisa berprestasi seperti halnya Liliyana. Juga, memiliki sikap baik.

Ah, pada akhirnya, sebagai pecinta bulutangkis, saya pun turut larut dalam haru dengan pamitannya Liliyana dari lapangan bulutangkis. Terlebih, Liliyana pergi ketika Indonesia belum memiliki pengganti dengan kualitas mumpuni sepertinya.

Namun, setiap perjumpaan, tentunya akan ada perpisahan. Terlebih bagi seorang atlet, masa pensiun mereka sangat dipengaruhi usia. Usia tidak bisa diakali. Pada akhirnya, mereka juga menyerah dan mengucap selamat tinggal. Bahkan, ada yang terpaksa pensiun lebih cepat karena cedera.

Mengutip kata eyang Pramoedya Ananta Toer di novel "Bukan Pasar Malam" yang mengagumkan itu, kita ini, termasuk juga para atlet, bak seperti berada di pasar malam. Bahwa, "Manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi". 

Dan, semoga, kelak ketika kita pergi, kita meninggalkan sederat prestasi, bertumpuk kenangan bagus, dan juga kawan-kawan yang menyayangi kita karena apa yang kita lakukan selama bersua mereka. Ya, pensiunlah seperti Liliyana Natsir. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun