Artificial Intelligence dewasa ini sangat marak digunakan dalam banyak peralatan manusia sehari-hari. Mulai dari smartphone, mobil, televisi, internet, media sosial, jam tangan, dan segala hal yang hari ini dapat atau lazim berimbuhan "smart" artinya benda itu memiliki teknologi Artificial Intelligence (AI).
AI memudahkan beragam pekerjaan dalam hidup manusia, mulai dari sebagai alat komunikasi, pemerhati kebiasaan, hiburan, bahkan kendaraan otomatis seperti yang dapat ditawarkan oleh perusahaan teknologi Tesla milik Elon Musk.
Meski tidak semua yang berteknologi AI saat ini dapat terjangkau dan dinikmati seluruh lapisan masyarakat, namun dimasa depan, AI tentu menjadi harapan segenap umat manusia. Sampai di sini, AI masih memiliki citra positif sebagai kandidat teknologi masa depan yang banyak diharapkan untuk lebih luas dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, bagaimana jika kita melihat tantangan AI tidak hanya berangkat dari aspek-aspek pengembangan teknologi, atau sains pada umumnya, melainkan juga terhadap demokrasi itu sendiri? Apakah dalam prespektif demokrasi misalnya, AI dapat menjadi hambatan, atau justru menunjang keberlangsungan demokrasi itu sendiri pada era masyarakat yang bergerak menuju society 5.0?Â
AI dalam satu dekade terakhir, selalu menjadi perbincangan masyarakat dunia seiring besarnya dampak yang dihasilkan oleh AI pada perubahan dunia.
Jika dikaitkan dalam proses demokrasi, salah satu peran AI yang amat berpotensi mengambil alih peran manusia dalam pemerintahan negara misalnya dalam ranah pengambilan keputusan kebijakan. Apalagi saat ini, sudah selang beberapa tahun pemerintahan Indonesaia mulai mencanangkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang dinilai lebih praktis, cepat, dan transparan ketimbang birokrasi konvensional pada umumnya.(Budianta, 2020)
Pencanangan kebijakan pemerintahan berbasis elektronik tersebut menandakan bahwa ke depan AI akan menjadi kawan baik bagi pemerintah, khususnya dalam memecahkan persoalan teknis, yang akan menunjang kebijakan.Â
Di sisi lain, penggunaan AI juga dapat meresahkan masyarakat. Seperti yang diungkapkan beberapa waktu lalu, menko maritim Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), yang meneyebutkan memiliki "Big Data" soal wacana penundaan pemilu.
(Mangihot, 2022) Big Data yang dimaksud, diolah oleh Artificial Intelligence, yang kemudian menghasilkan kesimpulan seperti yang disampaikan LBP tersebut. Meski akhirnya masyarakat tidak mendapatkan keterbukaan mengenai big data yang dimaksud, hal ini tentu akan menjadi cerminan kedepan bagaimana AI akan mempengaruhi wajah demokrasi.