Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Golput, Antara Abai atau Peduli Politik?

15 Maret 2019   08:26 Diperbarui: 15 Maret 2019   12:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pembahasan mengenai Golput kembali mengemuka akhir-akhir ini. Banyak argumentasi baik pro dan kontra akan pilihan menjadi Golput tersebut. Berbagai pakar menuangkan segala pemikiran dan ide-idenya baik memakai bahasa sederhana maupun bahasa "sulit" dengan segala istilah kerennya.

Kalau boleh penulis tarik garis tegas, Golput sendiri ada dua aliran besar. Adalah mereka yang memang abai/tidak tahu/tidak mau tahu terhadap politik atau hal satu lagi adalah mereka yang sangat peduli atau melek dengan politik.

Kelompok pertama yakni yang abai politik ini di Indonesia penulis yakin jumlahnya banyak, mereka-mereka ini pertama sudah antipati kepada politik (mencap politik itu kotor), tidak mau tahu, dan tidak peduli. Hari libur untuk pencoblosan lebih baik untuk jalan-jalan atau rekreasi bahkan tidur seharian di kamar. 

Mereka menganggap suara mereka yang cuma 1 (satu) suara itu tidak ada manfaatnya, ngapain panas-panas antre? Ngapain juga milih yang tidak tahu siapa yang dipilih? Hidupku juga tidak berubah kalau aku memilih? Pernyataan-pernyataan apatis lah yang selalu muncul ketika berhadapan dengan orang seperti ini. Mereka tidak memilih memang karena malas saja, mereka tidak tahu politik, tidak mau tahu juga, serta merasa "unfaedah" ikut pemilu.

Golongan ini boleh dibilang terbanyak diwakili oleh pemilih pemula seperti anak kelas 3 SMA apalagi yang di daerah-daerah, para mahasiswa yang kuliah di luar kota, yang urusan kampus dan nonton film romantis lebih penting daripada urusan mencoblos, ada juga para pekerja yang harus bekerja di luar kota, seperti para pekerja bangunan dan informal yang tidak mungkin juga pulang sehari hanya demi nyoblos, siapa yang biayain pulang pergi?

Golongan kedua golput adalah mereka yang memang tidak memilih karena mengerti benar atau pemahaman politiknya sudah level "tinggi". Mereka memutuskan untuk tidak memilih karena memang sebagai bagian dari "protes". Karena menurut mereka para calon yang dihadirkan tidak memenuhi kualifikasi yang mereka inginkan. 

Gampangnya begini (suatu kiasan) dalam memilih tim sepakbola yang bertanding di final Liga Champions mungkin mempertemukan Ajax Amsterdam melawan Barcelona. Anda sendiri sejatinya adalah penggemar Real Madrid. Apa sikap anda? Tentunya masa bodoh. Lah yang satunya tim yang menyingkirkan tim kita, yang satunya musuh bebuyutan.

Bagaimana kita harus memilih orang-orang yang kita anggap tidak layak untuk kita pilih? Itu pertanyaan dasar mereka. Kalau dibilang mereka tidak mau ikut bertangggung jawab terhadap nasib bangsa? Ya, tidak juga serta merta dibilang begitu. Dengan tidak memilih mereka ingin menunjukkan sikap bahwa ada yang salah dengan sistem yang ada sekarang. Calon-calon pemimpin yang disodorkan oleh partai politik, masih terlalu banyak kekurangan di mata mereka.

Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menyikapi golongan-golongan ini. Kalau Golput golongan pertama mungkin bisa dicari jalan keluar. Agar mereka melek politik. Anak SMA bisa dikasih penyuluhan atau yang jauh-jauh sekolahnya dibuat metode agar dipermudah. Untuk golput golongan pertama masih ada harapan jalan keluar agar mereka mau menggunakan hak pilih.

Yang jadi perhatian tentunya golongan kedua ini, karena secara sadar mereka memilih untuk tidak memilih. Selain tingkat intelektualitas mereka juga baik, golongan ini juga mempunyai prinsip dan penilaian sendiri terhadap para kandidat. 

Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah keputusan mereka, sama seperti kita yang mungkin (sudah) menentukan pilihan untuk memilih salah satu calon yang ada. Perilakunya adalah semakin kita diminta merubah keputusan kita. Maka semakin besarlah keinginan kita untuk mempertahankan pendapat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun