Mohon tunggu...
GYudhistira Emsil
GYudhistira Emsil Mohon Tunggu... -

Pelajar di Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ada yang Salah di Pendidikan Kader Tarbiyah

29 Desember 2013   07:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekitar lebih dari dua puluh tahun lalu di lingkungan intelektual kampus-kampus negeri berdiri lah sebuah gerakan keagamaan yang membawa semangat perubahan individu. Kelompok ini meyakini bahwa  basis perubahan dalam individu akan mempengaruhi perubahan lingkungan dan pada akhirnya membawa perubahan pada sistem politik. Betul, jika anda menjawab kelompok ini adalah kelompok pendidik atau bahasa arabnya disebut tarbiyah. Sosok kelompok ini dahulu dipercaya membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Alasannya simpel saja: pertama kelompok ini bergerak di lingkungan kritis kampus-kampus negeri sekuler dan alasan kedua bahwa kelompok ini memadukan antara gerakan moral keagamaan dengan pendekatan ilmiah a la kampus.

Memasuki reformasi 1998, kelompok ini mentransformasi dirinya  menjadi partai politik. Kemunculan Partai Keadilan (PK) yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membawa angin harapan baru dalam masyarakat yang sudah jengah terhadap KKN. Kader-kader PK dan PKS diharapkan menjadi asset bangsa yang muda, bersih, kritis merakyat dan beriman kepada Allah SWT. Intinya, sosok idaman politisi sebetulnya diharapkan terletak pada pundak para kader-kader tarbiyah. Dan karakter tersebut baru benar-benar diuji lebih dari 10 tahun setelah reformasi, ketika beberapa kasus korupsi mendera kader-kader mereka. Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi para kader tarbiyah atas dosa-dosa yang dilakukan segelintir kecil kader-kadernya. Namun lebih dari itu, saya ingin memotret kegagalan pendidikan tarbiyah dalam merespon saudara-saudara sepergerakannya yang bermasalah tersebut. Pada kenyataanya sebagai kelompok yang juga berjalan dalam politik praktis, kelompok tarbiyah masih memiliki tingkat korupsi yang paling kecil jika dibandingkan dengan partai-politik lainnya, menunjukan gerakan ini masih efektif dalam penanaman nilai ‘tidak korupsi’ pada kader-kadernya.

Layaknya istilah para pendaki gunung yang berkata “Jika ingin melihat kepribadian seseorang sesungguhnya, maka lihatlah dirinya ketika dalam keadaan terancam” penulis memotret beberapa kegagalan pendidikan dalam tarbiyah terutama dalam menanamkan moralitas kepada para kadernya justru pada saat kondisi kritis dalam tubuh mereka. Metode yang penulis lakukan adalah dengan melihat komentar-komentar dan pembelaan yang dilakukan oleh kelompok tersebut pasca kasus korupsi melanda. Media ini penulis lihat dengan berbagai pertimbangan: Pertama, Mudah mengamati media sosial; Kedua, tidak ada aturan dalam media sosial dalam berkomentar sehingga komentar dari paling kasar hingga paling halus bisa semua dimuat dalam media sosial; ketiga, faktanya hingga saat ini kelompok tarbiyah merupakan kelompok yang paling aktif menggunakan media sosial, terlihat dari banyaknya akun-akun media sosial yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Beberapa indikasi kegagalan antara lain:

1.Penanaman norma yang cenderung keras ke bawah namun lembek ke atas. Pada kader-kader muda atau kader-kader akar rumput misalnya, kelompok tarbiyah memiliki aturan sangat ketat bahkan dalam urusan jodoh. Jodoh misalnya sangat dianjurkan bahkan sedikit dipaksa untuk dipilih dari kalangan yang satu fikroh atau golongan. Peran serta guru ngaji (murobbi) sangat besar dalam proses ini termasuk menscreening bahkan beberapa diantaranya memilihkan jodohnya sehingga ada anekdot “jodoh di tangan murobbi”. Namun rupanya hal ini tidak berlaku di kalangan petinggi partai, mereka memilih jodoh seenaknya tanpa ada yang mengkritik dan mengkomentari. Kasus mantan Presiden LHI ketika nikah siri dengan perempuan SMA yang tidak berjilbab atau Presiden AM yang menikahi perempuan bule mualaf, mengisyaratkan betapa sewenang-wenangnya petinggi partai melangkahi norma dan nilai yang disepakati atas nama “dakwah”. Kalau sudah begini kasihan kader-kader tarbiyah di akar rumput: Kedapetan apesnye!

2.Sikap kader yang permisif, bahkan membela dan tidak kritis terhadap kondisi yang ada. Sistem pendidikan dalam tarbiyah bisa dikatakan sukses dalam menanamkan perilaku “tidak” namun gagal dalam menanamkan perilaku “anti”. Contoh nyata, kader-kader terutama di akar rumput atau di kampus sangatlah lurus mereka ‘tidak korupsi’, ‘tidak hidup mewah-mewahan’ dan sebagainya. Namun apakah mereka juga anti? Fenomena di media sosial menunjukan bahwa mereka justru sangat permisif apabila ada pelanggaran terhadap norma yang mereka sepakati yang dilakukan oleh petinggi-petinggi partai. Ketika petinggi partai hidup mewah dengan jam tangan rolex berpuluh-puluh juta (padahal fungsinya sama saja dengan jam tangan 300.000 rupiah), para kader bersikap membela dengan alasan “preferensi gaya hidup pribadi”.Jangan tanya soal korupsi. Ketika presiden partai terbukti korupsi misalnya yang dilakukan adalah menuding pihak lain sebagai upaya konspirasi penjatuhan dan BUKAN melakukan pembersihan internal. Bahkan ada upaya membela mati-matian dan mempercayai setengah mati bahwa pelaku adalah sosok bersih. Kalau saya kader tarbiyah dan bermewah-mewahan apakah saya dibela oleh jutaan kader lainnya?

3.Penggunaan istilah-istilah agama sebagai dalih para petingginya. Salah satu kesalahan fatal dalam sistem ini adalah loyalitas kader yang tinggi bukan hanya pada kelompok namun juga kepada petinggi-petinggi. Akibatnya, sebagai bentuk solidaritas maka yang dilakukan oleh para petinggi hampir diyakini bersih dan tidak mungkin KKN. Dilain pihak, kepercayaan yang begitu tinggi melahirkan kader-kader penurut yang menuruti setiap kebijakan partai tanpa dikritisi terlebih dahulu apakah baik atau tidak. Sebagai contoh adalah doktrin ‘korupsi adalah perampasan harta perang (ghanimah) yang tercecer yang harus direbut oleh ummat (atas nama tarbiyah) agar tidak jatuh ke tangan lawan’ dipakai sebagian kader-kader akar rumput sebagai pembenaran yang pelanggaran dilakukan oleh para petingginya. Sungguh berbahaya, jikalau kompetisi politik antai partai dalam kondisi damai sekarang ini disimplifikasi menjadi kondisi perang dimana hukum yang berlaku adalah hukum darurat. Doktrin ini jika tidak dikritisi akan berakibat pembelaan terhadap korupsi yang dilakukan kader partai atas nama ummat. Kalau gitu perang melulu dong damainya kapan?

Penulis bukanlah pembenci kelompok tersebut, namun sebaliknya penulis adalah orang yang awalnya percaya pada gerakan ini namun prihatin dengan kondisi yang ada. Titik krusial pada sebuah gerakan adalah ketika para penggeraknya sudah permisif terhadap rekannya sendiri yang melakukan pelanggaran norma, nilai maupun hukum. Alih-alih melakukan pembelaan dan menuduh konspirasi pihak lain, akan lebih efektif jika kelompok tarbiyah melakukan pembersihan dan koreksi internal. Akan sangat bijak jika kita mengatakan ada proses pendidikan yang salah dalam menginternalisasikan nilai-nilai ketarbiyahan. Penulis berharap tulisan ini menjadi cambuk pembenahan dalam pembenahan sistem pendidikan di dalam kelompok tarbiyah dan menjadi pemicu reformasi internal. Kalau memang sama saja bagaimana? Ah pasti direformasi kok cepat atau lambat. Kalo tidak juga? Ke laut aje.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun