Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

'Bahu' dan 'Kulak', Warisan Kata Hindia Belanda

2 Juli 2013   18:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:06 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di persawahan khususnya di Jawa ada ukuran luas sawah yang disebut ‘bahu’. Saya tak menyangka bahwa istilah ‘bahu’ ini ternyata berasal dari kata Belanda ‘bouw’. Di zaman Hindia Belanda pada masa tanam paksa (Cultuurstelsel) diterapkan, Belanda memakai ukuran ‘bouw’ ini untuk menentukan cakupan luas lahan yang harus ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Cultuurstelsel yang menyengsarakan petani ini berlangsung dari tahun 1830 – 1870.

Ukuran 1 bouw (1 bahu) menurut catatan Cultuurstelsel adalah 7096,5 meter persegi. Namun ukuran ini bervariasi antara 0,70 sampai 0,74 hektar. Satu bahu ini dapat dibagi menjadi empat dan masing-masing disebut satu iring dan dapat pula dibagi menjadi delapan, dan masing-masing petak dinamakan satu sidu. Sekalipun masa tanam paksa ini membawa penderitaan yang tak terperikan bagi petani, ternyata istilah ukuran lahan pertanian peninggalan zaman kolonial ini, masih tetap dipakai dengan nama ‘bahu’. Tentu saja kata ini tak ada sangkut pautnya dengan kata ‘bahu’ yang berarti pundak.

Istilah lain yang juga peninggalan dari zaman kolonial adalah ukuran ‘koelak’ yang dipakai untuk takaran benda cair sepadan dengan 1.5751 liter. Menurut KBBI ternyata takaran kulak ini bukan hanya untuk menakar benda cair, tetapi juga untuk beras dan lainnya. Pedagang-pedagang china yang menjadi perantara di zaman Hindia Belanda membeli hasil bumi dari petani dengan ukuran kulak ini. Mungkin dari inilah timbul istilah ‘kulakan’ yaitu berbelanja dalam jumlah besar untuk dijual kembali. Juga kemudian terbit istilah ‘tengkulak’ yaitu pedagang yang membeli hasil bumi petani yang belum masa panen dengan harga miring (sistem ijon) dan pada saat panen meraupnya dengan harga jual yang berlipat ganda.

Dua kata yang ternyata juga dari istilah Belanda ‘bouw’ dan ‘koelak’ masih tetap dipakai dalam wacana bahasa masyarakat kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun