Pendidikan menurut Nasution (2010) merupakan interaksi individu dengan anggota masyarakat yang berkaitan dengan perubahan dan perkembangan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, kepercayaan dan keterampilan. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan seluruh aspek yang ada dalam kehidupan seseorang, baik orang terdekat, masyarakat, atau lembaga yang ada, baik lembaga formal maupun lembaga non formal dengan tujuan mengubah kebiasaan-kebiasaan tidak baik menjadi baik yang terjadi selama kita hidup untuk memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik serta mampu menjawab tantangan masa depan yang berhubungan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya (Rahmi dan Habinullah, 2012:89).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ketidaksetaraan gender disebabkan oleh beberapa hal yaitu akses, partisipasi dan control yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan (Mosse, 1996). Sedangkan menurut Sulaeman (1995) bahwa alasan terjadinya ketimpangan gender dalam pendidikan disebabkan oleh ketersediaan fasilitas, mahalnya biaya sekolah, dan investasi dalam pendidikan. Sedangkan Van Bemmmelen (2003) menemukan bahwa ketimpangan gender meliputi akses perempuan dalam pendidikan, nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar,nilai yang ditanamkan oleh guru dan kebijakan bias gender. (Rahmi dan Habibullah, 85-86)
Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan perempuan. Hal ini dapat kita temukan dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Anak perempuan cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi, Perempuan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga. Pendidikan rendah yang dimiliki perempuan menyebabkan mereka banyak bekerja pada pekerjaan informal dengan upah rendah.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses dan sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluargadan masyarakat. Stereotip gender yang berkembang di dalam masyarakat telah membagi-bagi peran-peran yang pantas untuk laki-laki dan perempuan. Nilai dan sikap yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender kedalam peran yang berlainan inilah yang menyebabkan ketidaksetaraan gender terlembaga pula dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Suleeman (1995) dalam Rahmi dan Habibullah (2012:90) menyebutkan bahwa hal pokok yang menjadi alasan terjadinya ketidaksetaraan gender menurutnya adalah
1). Semakin tinggi tinggi pendidikan formal semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia,
2). Semakin tinggi pendidikan semakin mahal biaya sekolah,
3). Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah. Sedangkan menurut Van Bemmelen (2003) menyebutkan bahwa faktor penentu ketidaksetaraan gender dibidang pendidikan adalah:
1). Qkses perempuan dalam pendidikan,
2). Nilai gender yang dianut masyarakat,
3). Nilai dan gender yang terdapat dalam buku ajar,
4). Nilai dan gender yang ditanamkan oleh guru. Serta
5). Kebijakan yang bias gender.
Rahmi dan Habibullah (2012) dalam penelitiannya tentang ketidaksetaraan gender dalam pendidikan yang dilakukannya di kecamatan Majalaya kabupaten Karawang menyebutkan bahwa.
1) Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan bagi perempuan di kecamatan Majalaya disebabkan karena pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilai terhadap pendidikan.
2) Nilai dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat telah membentuk stereotip yang merugikan perempuan, terutama di bidang pendidikan. Ia menemukan bahwa ada tradisi dan perlakuan orang tua terhadap anak perempuan yaitu adanya tradisi menikah di usia muda yang menyebabkan banyak anak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
3) Kebiasaaan dalam masyarakat yang berkembang menempatkan satu jenis kelamin lebih rendah dari jenis kelamin lain yang menimbulkan marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan. Marginalisasi terhadap perempuan dalam pendidikan merupakan suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan ketidaadilan bagi perempuan.
Faktor awal yang mendorong terjadinya marginalisasi adalah stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Anggapan bahwa perempuan adalah warga kelas ke dua dalam masyarakat, telah menyebabkan anak-anak perempuan usia sekolah mendapat ketidaksetaraan dalam bidang pendidikan. Sedangkan subordinasi terhadap perempuan merupakan suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh perempuan lebih rendah dari laiki-laki.
Dalam kerja reproduksi (pengasuhan dan perawatan keluarga) dan pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai peran yang rendah dan laki-laki merasa tabu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sedangkan dalam bidang pendidikan anak laki-laki didahulukan dari perempuan, karena anggapan perempuan setelah menikah tidak bekerja lagi dan lebih banyak menjadi ibu rumah tangga serta bertanggung jawab dalam kerja reproduktif.
4) Beban kerja ganda telah disosialisasikan oleh orang tua kepada anak perempuan dan laki-laki semenjak kecil. Pengenalan pola pembagian kerja ini, membentuk persepsi yang keliru mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. (Rahmi dan habibullah, 2012)
Maka dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor penting yang mempengruhi ketidaksetaraan gender dalam pendidikan antara lain adalah nilai, akses, partisipasi, control dan manfaat. Nilai yang berkembang dalam masyarakat membagi-bagi peran setiap orang dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi stereotip gender.
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui pendidikan merupakan suatu langkah penting untuk mencapai mutu pendidikan. Kepala sekolah dan guru menjadi agen perubahan dalam kesetaraan gender. Mereka mendukung siswa laki-laki dan perempuan untuk mengambil bagian dalam berbagai kegiatan di sekolah. Hanya saja kesetaraan gender belum konsisten diterapkan dalam dunia pendidikan. Berbagai masalah bias gender masih saja mencuat dalam proses pmebelajaran. Guru seringkali memberikan kesempatan yang berbeda antara anak laki-laki dengan perempuan.
Misalnya ketika seorang guru meminta kepada mutit-muritnya “ada yang bisa membantu ibu untuk mengangkat meja yang dibelakang untuk dipindahkan keluar kelas?” maka ketika ada yang mengacungkan jempol laki-laki dan perempuan secara sadar maupun tidak guru-guru kebanyakan akan memilih murit laki-laki karena itu lebih pantas untuk dilakukan oleh anak laki-laki. Ketika melakukan pemilikan ketua kelas juga seperti itu, rata-rata yang dipilih adalah siswa laki-laki. Padahal siswa perempuan juga bisa dijadikan sebagai ketua kelas.
Dalam kegiatan belajar kelompok misalnya, biasanya yang akan dipilih menjadi ketua kelompok dalam belajar kelompok kebanyakan adalah siswa laki-laki sedangkan yang akan menjadi notulennya biasanya adalah perempuan. Hal ini tanpa disadari berlangsung secara terus menerus di dalam dunia pendidikan. Bahan ajar banyak yang menonjolkan peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sector publik atau lebih menonjolkan kegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di dalam kesehariannya. Ini biasanya banyak terdapat dibuku-buku bacaan anak-anak sekolah dasar.
Ketua dalam kegiatan ektrakurikuler selalu anak laki-laki sedangkan sekretaris, bendahara atau bagian konsumsi dalam kegiatan sekolah itu biasanya dipegang oleh perempuan Begitu juga dengan fasilitas sekolah yang tidak mengakomodasi perbedaaan gender. Misalnya toilet sekolah yang belum semuanya sekolah memisahkan antara toilet laki-laki dan perempuan. Seperti sebuah sekolah di pedalaman Kalimantan barat dimana saya pernah sempat mengajar di sana, fasilitas sekolahnya berupa toilet antara laki-laki dan perempuannya belum terpisah. Antara laki-laki dan perempuan masih memakai toilet yang sama. Seharusnya ini perlu untuk di bedakan, untuk menjaga hak-hak perempuan dalam hal-hal tertentu.
Seharusnya, dalam dunia pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan harus mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai hal. Untuk itu perlu upaya serius, kerjasama dan komitmen bersama semua lapisan masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk menghapus semua permasalahan bias gender yang masih direalisasikan secara berkelanjutan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya di dunia pendidikan yang merupakan agen sosialisasi formal dalam masyarakat serta agen sosialisasi ke dua yang terpenting setelah keluarga.
Di sekolah misalnya, kepala sekolah adalah sosok terpenting dalam pengembangan pendidikan di sekolah. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan aktif disekolah bisa terjadi sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan kepala sekolah yang baik. Komitmen kepala sekolah dalam menjalankan berbagai kegiatan persekolahan merupakan motivasi tersendiri oleh guru-guru yang ada di sekolah. Keteladanan seorang kepala sekolah menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah sekolah. Bergitu juga halnya dalam usaha mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan masyarakat yang dimulai dengan mewujudkan kesetaraan gender di sekolah sangat perlu dukungan dan komitmen seorang kepala sekolah dalam mewujudkannya. Tanpa dukungan kepala sekolah sebagai pimpinan sebuah sekolah dan didukung oleh warga sekolah lainnya hal ini sulit untuk diwujudkan.
Kesetaraan gender tidak akan bisa terwujud jika hanya kita memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi hal yang mendasar adalah mengubah cara pandang dan pola pikir. Dalam memenuhi agar terwujudnya kesetaraaan gender maka lembaga pendidikan perlu memenuhi tujuan dasar pendidikan yang berkeadilan.
Adapun ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan diantaranya adalah 1) Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. 2) Adanya pemerataan pendidikan yang tidak bias gender. 3) Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan minat peserta didik baik laki-laki maupun perempuan. 4) Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman saat ini. 5) Individu dalam pendidikannya diarahkan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya. (Eni Purwati dan Hanun Asrorah, 2005:30)
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui pendidikan merupakan suatu langkah penting untuk mencapai mutu pendidikan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar terwujudnya kesetaraan gender dalam masyarakat khususnya dalam pendidikan. Rahmi dan Habibullah (2012:99) memberikan rekomendasi sebagai berikut. 1) Dalam setiap keluarga perlunya diberikan peningkatan kesadaran, melalui kegiatan sosialisasi dari badan pemberdayaan perempuan yang bekerja sama dengan tokoh masyarakat dengan cara berdiskusi. 2) Perlu meningkatkan kuota kesempatan kerja pada perempuan. Hal ini untuk menunjang sosialisasi yang sudah disampaikan kepada keluarga sehingga mendapat respon positif dari masyarakat. 3) Dalam konteks sekolah, perlu memberikan beasiswa bagi keluarga yang kurang mampu, dengan prioritas untuk anak perempuan karena perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki dalam bidang pendidikan. 4) Penyuluhan melalui dinas pendidikan, dinas sosial, dan badan pemberdayaan perempuan mengenai hak-hak perempuan, selai itu dalam kegiatan kemasyarakatan seperti pengajian atau perayaan hari-hari besar keagamaan, pihak aparat desa dapat memberikan porsi peranan yang lebih banyakkepada kaum ibu dan anak perempuan.
Penanaman nilai-nilai multikultural di sekolah, dengan menerapkan pendidikan multikultural merupakan sebuah upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi praktik ketimpangan atau bias gender dalam masyarakat terutama di sekolah. Karena sekolah merupakan tempat terpenting bagi seorang individu dalam penanaman nilai sebelum terjun dengan masyarakat.
Pendidikan mutikultural merupakan suatu pendekatan belajar mengajar yang didasarkan pada nilai dan kepercayaan demokratis dan menegaskan pluralisme budaya dalam masyarakat yang saling bergantung. Pendidikan multikultural menganggap bahwa tujuan utama dari pendidikan umum adalah untuk membantu perkembangan intelektual, sosial, dan pribadi dari semua pelajar hingga mencapai tingkat yang tertinggi. (Larry A, Samovar, 2010:404)
Melalui pendidikan multikultural ini, kesadaran akan hak yang sama pada setiap warga sekolah dengan latar belakang yang berbeda dikembangkan. Tentunya dengan kerja sama yang kuat antara semua pihak yang terlibat di dalamnya. Seperti kepala sekolah, guru-guru, dinas pendidikan, para pengambil kebijakan lainnya, serta para penulis buku teks yang digunakan untuk siswa-siswi di sekolah.
Pendidikan multikultural ini akan melahirkan paham yang disebut dengan multikulturalisme. Laurence Blum dalam Layry May (2001:2) menawarkan defenisi dari multikulturalisme sebagai berikut:
Sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain bukan atas arti menyetujui seluruh aspek budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggitanya sendiri.
Dalam pendidikan multikultural, kesetaraan gender diwujudkan dengan memberikan hak yang sama kepada setiap anak laki-laki dan perenpuan dalam setiap kesempatan, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Karena apabila bias gender selalu diaplikasikan dalam dunia pendidikan secara sadar atau tidak akan membawa kepada kekerasan simbolik yang merugikan satu pihak, terutama anak perempuan.
Oleh karena itu, semua pihak bertanggungjawab untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik bias gender dalam pendidikan. Baik pendidikan non formal maupun formal. Semua agen sosialisaasi mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat serta media massa harus menanamkan prinsip-prinsip kesetaraan, berupa toleransi, mengilangkan stereotype, diskriminasi serta subordinasi. Tujuannya adalah agar harmoni sosial dalam masyarakat yang beragam dapat terwujud. Karena harmoni sosial merupakan sebuah kondisi ideal yang diharapkan oleh setiap individu sebagai anggota masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI