Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerobak Bakso Transformer

20 Juni 2018   18:50 Diperbarui: 21 Juni 2018   08:37 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Namanya Pak Tino (60 Tahun). Sore (20/6/2018) ini saya melihatnya menggelandang sepeda gerobak roda tiganya memasuki pelataran parkir Terminal Mendolo. Saya pikir itu hanya semacam kotak bakulan yang ditaruh di atas sepeda seperti pada umumnya pedagang keliling.

Perkiraan saya ternyata meleset. Perlahan ia membuka satu persatu perabot lapaknya, lalu bim salabim dalam waktu kurang lebih seperempat jam lapak bakso yang cukup ideal komplit dengan payung lebar, meja dan kursi telah tergelar di hadapan saya. Tak bisa tak, saya harus menyebut ini MOGE (motor gerobak -- pen) sudah mirip banget dengan robot tranformer.

Jujur saya terperangah. Saya tak bisa membiarkan momen ajib ini lewat begitu saja. Maka sambil menggoyang lidah menikmati bakso kuahnya, saya sedikit menukil riwayat hidupnya.

Pak Tino bapak bakul bakso kita ini berasal dari Solo. Ia menikahi ibu Salimah perempuan Wonosobo dan dikaruniai empat anak yang sekarang sudah sama berkeluarga. Mereka tinggal di dusun Losari arah timur pertigaan Kalierang Wonosobo.

Sudah hampir empat puluh tahun lamanya Pak Tino berdagang bakso. Ia pernah berjualan di area pasar Kertek Wonosobo selama kurang lebih dua puluh lima tahun. Seiring kuliner merambah di desa-desa, ia kemudian berjualan bakso keliling dengan sepeda motor. Malang baginya suatu saat roda belakangnya meledak, motor terjatuh dan kecelakaan itu membuatnya terluka parah.

Life must go on. Hidup harus terus berjalan. Bagi pak Tino yang sepanjang hidupnya mengulik bakso, tentu tak ada pilihan lain selain berdagang bakso. Maka sebuah motor modifikasi dengan dua roda di depan laiknya becakpun kemudian ia kreasi untuk menopang kedua kakinya yang sudah tak lagi kuat seperti dulu.

Hari-hari senja saat arus balik penumpang ini ia masih mangkal di terminal Mendolo. Esok pagi hingga siangnya ia tak jelas benar akan mangkal di mana. Seperti halnya para pedagang keliling yang mencari lahan membuka lapak berdasar naluri, Pak Tino dan ibu Salimah mempercayai satu hal sebagai keyakinannya orang berharap Tuhan akan memberikan rejeki. Ono dino ono upo, ora ubet ora ngliwet.

Malam-malam yang mungkin akan lewat biasa bagi orang lainnya. Malam-malam itu adalah malam-malam dua manusia Tino dan Salimah mengeja rasa syukur, saat sebuah motor beroda tiga bergerak perlahan mengantar tuannya pulang ke rumah, dan ibu Salimah setengah terkantuk duduk di atas perabotan lapak disilir angin sepanjang jalan yang dilewatinya.

Gusblero, 20 Juni 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun