Mohon tunggu...
Humaniora

Membangun Kesiagaan Diri dengan Membangun Kemampuan Berpikir

22 November 2015   11:37 Diperbarui: 22 November 2015   11:37 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru saja kemarin hari sekolah kami dikunjungi salah satu perwakilan dari kepolisian sektor Batam Kota untuk sosialisasi mengenai antisipasi keamanan para siswa dari ancaman kejahatan yang semakin merajalela belakangan ini. Memang belum lama ini Batam diguncang kasus pembunuhan salah satu siswa sekolah negeri yang sampai sekarang belum sepenuhnya tertuntaskan. Kengerian akan aura kejahatan ini sangat tinggi karena pola dan intensitas serta motif kejahatannya yang belum sepenuhnya bisa dimaknai oleh kepolisian setempat. Yang memprihatinkan, yang menjadi korban adalah siswa, generasi yang sebenarnya masih panjang waktunya untuk menuntut ilmu dan menempa diri menjadi salah satu pelaku masa depan.

Dalam sosialisasinya, saya menangkap beberapa hal menarik untuk menjadi bahan renungan lebih dalam, yaitu mengenai cara menurunkan risiko menjadi target kejahatan melalui kehati-hatian pergaulan. Pak polisi Batam Kota ini secara terbuka menyatakan bahwa “salah pergaulan” adalah salah satu dari sebab utama terlibatnya siswa di sekolah ke dalam masalah kriminalitas, baik sebagai pelaku ataupun korban. Ditengarai, mode pergaulan yang salah ini mungkin tidak terjadi di dalam sekolah, tapi di luar sekolah, di mana sekolah sudah tidak mungkin lagi mampu menjangkaunya. Ini menimbulkan ironi dalam kepala saya selaku pelaku pendidikan dan pengajaran di sekolah, karena justru pada sekolah-lah orang tua jaman sekarang menimpakan tumpuan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya, yang di dalamnya termasuk soal keamanan si anak didik tersebut, lahir dan batin. Masalahnya, bagaimana mungkin sekolah akan terlibat begitu jauh ke dalam kehidupan sosial anak-anak mereka, ketika mereka sudah secara fisik jauh dari pengamatan dan pengawasan sekolah? Bagaimana mungkin sekolah akan merangkul dan menghindarkan anak-anak dari risiko pergaulan yang salah di luar sekolah, ketika sekolah sendiri secara fisik dan sumber daya tidak mempunyai kemampuan lebih untuk itu?

Maka saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa tidak ada jalan lain untuk menghindarkan anak-anak kita ini dari risiko bahaya eksternal kecuali dengan menanamkan dan membiasakan mereka dengan yang namanya kesadaran tingkat tinggi atau high-level awareness. Gambaran besarnya seperti ini: bila anak-anak kita memiliki kesadaran tingkat tinggi, maka mereka akan lebih kritis menanggapi pola situasi yang mereka hadapi beserta varian-varian perilaku yang mengikutinya. Contohnya, bila mereka terpaksa harus pulang larut karena suatu dan lain hal yang tidak bisa mereka hindari, maka mereka akan berpikir dua kali untuk menaiki angkutan umum di larut malam hanya dengan penumpang yang minimal serta memiliki kondisi dan gelagat yang mencurigakan. Misalnya angkutan umum dengan hanya dua penumpang yang kedua-duanya lelaki. Bukan menuduh, tetapi selalu ada kemungkinan bahwa dua lelaki ini bukan lelaki baik-baik serta memiliki niat tertentu. Dengan kondisi bahwa si anak kalah dalam jumlah fisik, maka seorang anak yang kesadarannya tinggi akan memilih jalan lain yang risikonya tidak sebesar itu. Memilih pulang dengan naik taksi misalnya, akan lebih rendah risikonya karena hanya ada satu sopir dan satu anak tersebut. Bila terjadi apa-apa, si anak masih punya peluang melakukan pembelaan dan penyelamatan diri.

Seorang anak dengan kesadaran tinggi akan bijaksana dalam memilih teman bergaul. Memang bukan bermaksud membatasi diri dalam pergaulan sosial, namun ada beda antara “mengenal” seseorang dengan “akrab” dengan seseorang atau sebuah kelompok sosial tertentu (misalnya, geng motor). Keakraban dengan seseorang atau kelompok orang yang menyimpang secara norma akan menjadikan si anak tersebut selalu berada dalam posisi tawar yang lemah untuk menolak. Dan akhirnya, akan ada sebuah kemungkinan si anak ini “ikut-ikutan” melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma. Individu yang jauh dari lingkaran pergaulan seperti itu akan memiliki risiko jauh lebih rendah daripada yang sebaliknya. Risiko bahaya selalu akan ada, hanya saja menurunkan tingkat kemungkinan akan menjadi pilihan bagus dalam situasi kondisi kehidupan seperti sekarang ini.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana menanamkan kesadaran tingkat tinggi ini kepada anak?

Yang pertama, konsep “menanamkan” saja menurut saya sudah keliru untuk memulai semua ini. Sikap, pola pikir, pola rasa tidak bisa ditanamkan, tapi DIBIASAKAN. Sikap, pola pikir, perasaan adalah instrumen kejiwaan, sebuah sistem operasional kemanusiaan yang intinya ada di dalam benak pikiran kita. Ia ditumbuhkan, bukan dimasukkan atau ditanamkan “dari luar”. Oleh karena itu, untuk meng-ada-kan yang belum ada di “dalam”, maka perlu mempergunakan cara laku benak pikiran beroperasi sehari-hari. Pikiran “baru” mayoritas datang sebagai akibat interaksi kita dengan orang lain. Kita secara otomatis meniru apapun yang dilakukan orang lain, ketika meyakini bahwa yang dilakukan itu benar, menurut referensi kita yang terbentuk sebagai hasil interaksi kita yang sebelumnya. Karena itulah, pengalaman hidup seseorang sangat mempengaruhi bagaimana orang ini akan meyakini banyak hal, bagaimana seharusnya ia bertindak laku, serta bagaimana ia seharusnya berpikir serta mengambil keputusan atas suatu kondisi. Kata kuncinya adalah PENGALAMAN. Pengalaman bukan sesuatu yang kita tanamkan, namun segala sesuatu yang BIASA dialami anak secara konsisten, serta memiliki daya tarik emosional luar biasa. Sejumlah pengalaman yang melekat dalam suatu rentang waktu, bila dilakukan dan diulangi dalam sekuens waktu tertentu akan menimbulkan PEMAHAMAN dan  PERILAKU  baru. Stephen R. Covey dalam buku mahsyurnya “7 Kebiasaan Orang-orang yang Sangat Efektif” menyatakan bahwa PERILAKU dan atau POLA PIKIR BARU akan terbentuk dari KEBIASAAN BARU yang setidaknya secara konsisten di-“biasakan” dalam waktu 21 hari. Bila suatu kebiasaan baru dilakukan 21 hari secara konsisten maka pada hari ke-22 ia akan menjadi PERILAKU dan POLA PIKIR BARU.

Pertanyaannya adalah, sudahkah kita membiasakan anak-anak didik kita untuk berkesadaran tinggi, agar selalu siaga dalam menghadapi situasi apapun, serta berperilaku secara umum? Sudahkah sekolah-sekolah kita menjadikan pembiasaan berkesadaran tinggi sebagai suatu prioritas? Sudahkah kita secara sadar dan terencana membiasakan anak-anak didik kita untuk berperilaku dan berpola pikir antisipatif guna melindungi dirinya sendiri? Ini pertanyaan yang susah bagi mayoritas sekolah kita di Indonesia. Beban kurikulum yang menjadi amanat Pemerintah dan orang tua, pola pikir yang keliru dalam memandang tujuan pendidikan, atau bahkan menukar-silangkan konsep PENDIDIKAN dengan PENGAJARAN, semua ini sungguh menyulitkan kita dalam memasukkan konsep PENGALAMAN dan PEMBIASAAN untuk membentuk kesadaran tingkat tinggi tersebut. Akan selalu ada alasan untuk menukar PENGALAMAN dengan tuntutan STANDAR KOMPETENSI. PEMBIASAAN sikap dan pola pikir dengan tuntutan kisi-kisi Ujian Nasional atau apapun TARGET  dari kurikulum yang dianut sekolah Anda masing-masing. Belum lagi tuntutan orang tua yang masih menganut persepsi yang keliru tentang pendidikan dan pengajaran, serta yang namanya visi masa depan. Akan selalu ada godaan dan hambatan itu.

Jadi ya kembali kepada kita selaku penggiat pendidikan dan pengajaran ini. Persekolahan kita ini mau-tidak mengambil peran agar anak-anak didik kita ini mengambil kendali aktif atas dirinya sendiri sehingga tidak menjadi korban dari sesuatu yang tidak perlu. Jaman ini jaman edan, sedikit sekali yang namanya akal sehat masih dijadikan landasan untuk bertindak. Yang menjadi komando di era ini adalah NAFSU dan PEMENUHAN KEINGINAN, yang saya yakin sekali sangat minim hubungannya dengan MORAL dan KEBENARAN. Karena itu saya berharap, dan saya menasihati diri sendiri setiap kali, agar sekolah tetap menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak didik kita ini agar menjadi generasi masa depan yang lebih SIAP dalam menghadapi segala kemungkinan, karena memang masa depan penuh dengan ketidakpastian. Yang pasti dari masa depan adalah ketidakpastian itu sendiri. Oleh karena itu, strategi yang terbaik menghadapinya adalah dengan kesiapan mental dan pola pikir, kreatifitas, serta keteguhan akan prinsip kebenaran. Semoga kita tetap diberikan kekuatan untuk mendidik para calon pemimpin masa depan tersebut. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun