Di pinggiran kota yang dihuni oleh keramaian yang tak peduli, tinggallah seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun bernama Dika. Dika hidup sebatang kara. Rumahnya hanyalah sebuah gubuk reyot di kolong jembatan, tempat di mana setiap hari ia harus menawar kehangatan dari sisa-sisa matahari. Dika menyebut gubuknya 'Sarang Kenangan', karena di situlah ia menyimpan satu-satunya peninggalan orang tuanya: sebuah payung lipat butut berwarna biru pudar.
Bagi Dika, hujan bukanlah sekadar air. Hujan adalah manifestasi pahit dari Takdir yang Basah, yang selalu datang untuk menguji dan membasahi segala yang ia miliki. Setiap kali mendung menggantung muram seperti janji yang tak tertepati, Dika akan panik. Ia akan berlari, mencoba menyelamatkan sedikit harta miliknya---sepotong roti kering, buku lusuh, dan selimut tipis---ke sudut Sarang Kenangan yang paling kering. Namun, gubuk itu selalu bocor, dan Dika selalu berakhir basah kuyup dalam rasa takut.
Suatu sore, hujan turun dengan amarah badai. Dika menggunakan payung biru bututnya. Payung itu penuh lubang kecil, membuat air tetap menetes mengenai kepalanya dan membasahi bahunya. Raka, seorang pedagang kaki lima yang sering melihat Dika panik, mendekat sambil membawa payung yang besar dan kokoh.
"Nak Dika," kata Raka, suaranya sehangat uap kopi. "Payungmu itu sudah tak berguna. Lihat, kau tetap basah. Mengapa kau tidak membuangnya saja dan cari perlindungan di gedung-gedung sana?" Dika memeluk payung bututnya erat-erat. Air matanya bercampur dengan air hujan. "Saya tahu payung ini bocor, Paman. Tapi ini satu-satunya yang tersisa. Dan... saya tidak mau lari. Di gedung-gedung sana, saya tetap merasa dingin di dalam."
Raka terdiam. Ia melihat ke bocoran kecil di payung Dika.
Dika lalu melanjutkan, suaranya pelan, seperti bisikan di tengah badai. "Ayah pernah bilang, Sabar itu bukan berarti payungmu tidak boleh bocor. Sabar itu adalah kemampuan untuk menjahit lubang saat hujan belum reda. Bukan menjahit saat kering, tapi saat kau masih merasakan basah. Sabar adalah payung dari takdir yang basah---dan aku memilih tetap berteduh di bawahnya, meski badai tak kunjung berhenti."
"Ayah bilang, payung yang benar dari takdir yang basah bukanlah payung yang membuatmu kering, tapi payung yang membuatmu berani menahan tetesan air sambil menyiapkan benang dan jarum. Ia adalah izin untuk basah tanpa harus rapuh."
Sejak saat itu, Dika mengubah perilakunya. Ketika hujan datang, ia tidak lagi panik berlarian. Ia mengambil benang dan jarum dari kotak kecilnya. Meskipun jari-jarinya kedinginan dan ia tetap basah, Dika mulai menambal lubang-lubang kecil di payungnya. Ia tidak menjahit untuk membuat payungnya kering saat itu juga, tetapi menjahit untuk menguatkan payungnya di badai berikutnya.
Dika belajar bahwa payung butut itu mengajarkannya penerimaan. Ia menerima bahwa hidupnya akan terus "bocor" (kesulitan akan terus datang). Namun, setiap jahitan adalah pelajaran berharga; setiap benang adalah penambahan kekuatan pada karakternya. Dika mulai menggunakan waktu basah itu bukan untuk menangisi takdir, tetapi untuk berusaha di tengah kesulitan.
Ketika musim hujan berlalu, payung biru butut Dika masih tampak usang, tetapi ia kini kokoh karena ribuan tambalan. Payung itu telah berubah dari sekadar peninggalan menjadi simbol ketahanan. Dika tidak lagi takut pada Takdir yang Basah, karena ia sudah memiliki kesabaran---kemampuan untuk menjahit harapan di tengah kegagalan dan tetap melangkah di bawah rintik kesulitan.