( BAB I Bagian 1)
Kreator : Guruh Sugeng M,SE,MH
Latar Belakang Masalah
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam rangka pemberdayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Melalui KUR, pemerintah memberikan subsidi bunga dan mendorong lembaga keuangan, khususnya perbankan, untuk menyalurkan pembiayaan dengan persyaratan yang le bih mudah, termasuk kebijakan agunan yang lebih fleksibel. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa untuk KUR Super Mikro dan Mikro, bank penyalur tidak diperbolehkan meminta agunan tambahan di luar usaha atau objek yang dibiayai.
Namun, implementasi kebijakan tersebut di lapangan kerap menghadapi tantangan. Beberapa bank penyalur KUR, masih menetapkan persyaratan agunan tambahan dengan dalih mitigasi risiko kredit, khususnya untuk pinjaman dengan plafon menengah hingga besar. Ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan praktik operasional ini berpotensi menimbulkan permasalahan struktural dalam penyaluran KUR, terutama yang berkaitan dengan prinsip inklusivitas dan kemudahan akses bagi pelaku UMKM.
Salah satu indikasi yang mencerminkan potensi masalah dalam implementasi kebijakan ini adalah tingkat Non-Performing Loan (NPL) yang melebihi ambang batas ideal.
Permasalahan NPL yang tinggi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan krusial. Apakah kebijakan tidak mewajibkan agunan tambahan telah diimplementasikan secara konsisten di tingkat lapangan? Apakah risiko kredit \yang tinggi disebabkan oleh longgarnya asesment terhadap calon debitur, atau justru karena faktor eksternal seperti kondisi ekonomi lokal dan ekonomi internasional yang tidak stabil? Bagaimana strategi mitigasi risiko yang dilakukan oleh pihak bank dalam menyeimbangkan kepentingan inklusi keuangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan?
Seiring dengan perkembangan sektor perbankan dan tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemahaman tentang aturan hukum terkait agunan dan kebijakan kredit menjadi krusial dalam memastikan akses yang lebih baik bagi masyarakat pada sektor perbankan, dan menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu program strategis pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian negara. Namun, salah satu tantangan yang dihadapi dalam implementasi KUR adalah kebijakan penggunaan agunan, di mana sebagian besar pelaku UMKM memiliki keterbatasan dalam menyediakan agunan yang memadai sebagai jaminan untuk mendapatkan akses pembiayaan. Kebijakan ini menimbulkan berbagai permasalahan, baik dari sisi perbankan yang harus mempertimbangkan risiko pemberian kredit tanpa agunan yang mencukupi, maupun dari sisi debitur yang kesulitan dalam memenuhi persyaratan tersebut.
Selain itu, kondisi ini juga dapat menciptakan dilema di kalangan pelaksana kebijakan di lapangan. Di satu sisi, mereka dituntut untuk memperluas penyaluran KUR kepada pelaku usaha kecil yang umumnya tidak memiliki aset sebagai agunan. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada risiko meningkatnya kredit bermasalah yang dapat berdampak pada stabilitas portofolio kredit lembaga keuangan. Ketidakseimbangan antara orientasi pemberdayaan ekonomi dan pengelolaan risiko keuangan inilah yang menjadi salah satu fokus penting dalam penelitian ini.