Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alasan Membangun Komunitas dan Kiat Menjaga Kehangatannya

29 September 2020   09:16 Diperbarui: 29 September 2020   10:08 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya membaca topik pilihan yang disuguhkan Kompasiana  adalah  "Kiat Bekomunitas" saya langsung semangat untuk menulisnya. Topik yang sangat menggairahkan. Tiba-tiba saya  bingung untuk mencari fokus penulisan karena  cukup banyak komunitas yang saya ikuti. Komunitas   yang saya ikuti dibangun  karena latara belakang  adanya  kasu yang harus ditolong secara rame-rame, karena   hobi dan karena kebutuhan.  Komunitas dibangun karena kasus Ujian Nasional  (UN)  yang curang,  kasus ketidakadilan hukum dan sosial,  kebutuhan dan hobi.

Komunitas yang dibangun karena latar belakang  kasus adalah komunitas guru yang menangis karena ketika mengawas UN  tahun 2007  para guru melihat kecurangan yang  masif dan sistemik.  Kemudian  kasus Ompung Saulina yang  usianya 92 tahun ketika membangun kuburan leluhurnya di atas lahan 4 x 2 meter menjadi terpidana.  Ketika saya baca kronologis kasus  dan saya melihat lansung ke Desa Sampuara, Dusun Panamean, Tobasa, Sumut, maka saya melihat ketidakadilan itu. 

Saya pikir, tidak mungkin sendiri melawan ketidakadilan itu. Karena itu kami bentuk Forum Pemuda Toba Samosir (FPT).  FPT berjuang untuk mebela  Ompung Saulina dan enam anaknya yang mendekam di penjara. Bagi saya, kasus itu  adalah kasus paling aneh yang pernah saya lihat. Kami bangun komunitas Bersama seorang pengacara Boy Raja Marpaung, dokter Tota Manurung, wartawan Alex Siagian dan lae Lubis, Candrow Manurung yang kini Wakil ketua DPRD Tobasa dan teman-teman aktivis lain

FPT/dokpri
FPT/dokpri
Komunitas yang dibangun  karena kebutuhan adalah anak-anak saya  yang dua orang butuh teman bermain dan rekreasi.  Komunitas itu adalah komunitas teras gereja dan komunitas kami di perumahan yang sama.  Komunitas gereja itu  berkumpul  para orang tua sepulang gereja sambil ngopi dan anak-anak laki-laki bermain bola di halaman gereja dan  anak-anak perempuan bermain di tempat mainan. 

Ketika ad acara ulang tahun, makan Bersama di tempat yang disepakati. Komunitas ini sangat akrab karena anak-anaknya saling membutuhkan untuk bermain.  Komunitas karena hobi adalah olahraga bola dan komunitas penulis. Komunitas penulis  Kristen,  guru dan cukup banyak komunitas yang terkait tulis menulis. 

Di Komunitas penulis itulah hidup yang kocak. Dan, komunitas penulis itu unik. Komunitas yang tidak ada konfliknya. Berbeda pandangan, gaya tulis dan berbagai macam aliran pemikiran jadi bahan tulisan. 

Hidup damai lahir dan batin jika masuk dalam komunitas penulis. Di Komunitas penulis inilah saling menajamkan pemahaman dalam berbagai hal. Komunitas penulis yang cukup banyak saya ikuti saya temukan betapa kayanya pemikiran manusia.

Salah satu komunitas yang sangat  berkesan adalah Komunitas Air Mata Guru (KAMG)  yang dibangun para guru  dari Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan tahun 2007.  

Para guru yang jujur itu setelah pulang dari mengawas Ujian Nasional (UN) berkumpul di sebuah rumah. Mereka menangis bersama karena UN dimana-mana  penuh kecurangan.  Ketika mereka berhenti menangis, mereka mau berjuang dan Langkah awal membentuk Komunitas Air Mata Guru (KAMG).

Ketika mereka telah membentuk KAMG mereka memutuskan untuk berjumpa para pengambil kebijakan untuk menjelaskan  bahwa UN itu  curang dimana-mana.  

Dan, kecurangan itu adalah dampak dari hasil UN sebagai syarat kelulusan. Salah satu pendirinya adalah Denni B Saragih yang lama saya kenal ketika mahasiswa.  Saya membaca di surat kabar Kompas  akan aksi mereka melawan kecurangan itu. Saya menghubungi Denni B Saragih untuk memberikan dukungan akan perjuangan mereka.  Denni B Saragih menulis di Kompas ketika itu dengan judul Kelulusan yang lancing. 

Ketika diskusi  ke  diskusi, perjuangan  ke perjuangan, mereka  diundang acara Republik Mimpi  yang didirikan dosen Uiniversitas Indonesia (UI) Efendy Gazali. Mereka ramai-ramai diundang ke Jakarta dan mereka menginap di rumah kami.  Ketika menginap di rumah kami,  dan sayalah petujuk jalan menuju  acara televisi (TV)  itu.  

Setelah tayang di televisi, wartawan pun ramai mencari mereka.  Para pemburu berita mecari mereka dan makin sering diundang TV tentang kesaksian dan perjuangan mereka. Selain pemburu berita surat kabar dan TV, juga  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengundang mereka untuk berdialog. Dalam prosesnya,  KAMG berkolaborasi dengan pakar Pendidikan, Forum Guru Indpenden Indonesia  (FGII) untuk berjuang agar UN tidak menjadi penentu kelulusan.

KAMG/dokpri
KAMG/dokpri
KAMG, FGII dan berbagai komunitas, termasuk Komunitas yang dimiliki artis terkenal Sophia Latjuba  berjanji bertemu dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan aspirasi.  Sophia Latjuba di Komisi X DPR RI ketika itu mengatakan, "saya tidak mau anak saya diluluskan oleh siapapun yang saya tidak kenal".   

Saya mau anak saya diluluskan oleh guru anak saya yang saya kenal.  Sophi menjelaskan filosofi pendidikan. Saya kaget benar akan pernyataan itu.   Artis cantik sekaligus ahli filsafat. Komisi X DPR RI ketika itu mendukung perjuangan KAMG, FGII dan berbagai Komunitas yang hadir. Semua kegiatan dliput media nasional dan berbagai media.

Perjuangan KAMG terus berlanjut  khususnya ketika UN. KAMG membuktikan bahwa kecurangan itu masif dan sistemik. Kecurangan itu melibatkan pejabat dan guru. Bahkan ada pejabat yang ke penjara karena kasus dana terkait dana UN.  Karena perjuangan KAMG, guru yang aktif di KAMG dipecat dan  tidak ada sekolah yang menerima mereka. 

Akibatnya, guru yang tidak diterima lagi menjadi guru kuliah S2 dan sebagian lagi mencari tempat mengajar di daerah lain.  Perjuangan itu kini membuahkan hasil, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menghapus UN. Perjuangan yang teramat Panjang dan senang perjuangan sudah mencapai hasilnya.

Komunitas yang  hampir tiap hari  berinteraksi adalah Komunitas karena kebutuhan anak  di perumahan kami. Ketika kami orang tuanya sudah dilihat rutin bertemua  dan anak-anak kami yang laki-laki sama-sama suka bola lapangan dan futsal maka anak laki-laki kami membentuk tim PSM.  

Kata mereka PSM itu singkatan dari Pasaribu, Sirait dan Manurung. Kumpulan marga-marga yang ada. Nama WhatsApp Group (WA Group) pun Namanya PSM.  Komunitas ini berdiri tahun 2014 yang lalu. Kami mencari orang tua yang anaknya seusia dengan anak kami. Cocok pula anak laki-laki kami yang sudah masuk Sekolah  Sepak Bola (SSB)  sejak usia 6 tahun dan putri kami cocok dengan anak-anak mereka.

PSM di Singapura/dokpri
PSM di Singapura/dokpri
Dalam menjaga kehangatan Komunitas kami tidak punya kiat. Komunitas ini berjalan secara alamiah seprti berkumpul bakar ikan, jalan-jalan ke puncak, makan di restoran, berkumpul di tempat mainan anak. Saling memberi dukungan satu sama lain. Komunitas ini menghasilkan kaum ibu yang kompak, kaum ayah yang kompak, anak laki-laki yang kompak dan anak perempaun yang kompak.  Tiada hari tanpa komunikasi. Terutama anak laki-laki yang memiliki jadwa game setelah lelah daring. Game bagi mereka itu sudah menjadi hiburan. Tentu saja waktunya kami batasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun