Ketika Presiden Prabowo Subianto menandatangani keputusan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, publik terhenyak. Bukan hanya karena kasus Harun Masiku yang begitu melekat pada dirinya, melainkan karena hanya berselang waktu singkat, Megawati Soekarnoputri kembali menunjuk Hasto sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP.Â
Ini adalah "hattrick" bagi Hasto---tiga periode berturut-turut ia memegang jabatan vital dalam partai banteng moncong putih.Namun, pertanyaannya sederhana: apa dampaknya bagi PDIP? Apakah ini tanda kebangkitan, atau justru penanda keterpurukan yang semakin dalam?
---
Megawati dan Pilihan yang Tak Terduga
Secara rasional, sulit menjelaskan mengapa Megawati kembali memilih Hasto. Dari sisi prestasi, PDIP justru mengalami kemunduran di bawah masa kepemimpinannya sebagai Sekjen. Dalam Pemilu 2024, PDIP memang masih menjadi partai terbesar, tetapi kursinya di DPR anjlok signifikan. Dalam Pilpres, jagoan partai, Ganjar Pranowo, kalah telak dari pasangan Prabowo--Gibran.
Lalu apa alasan Megawati?
Jawabannya bisa jadi bukan soal prestasi, melainkan soal loyalitas dan perlawanan. Hasto dikenal sebagai sosok PDIP yang paling keras menyerang Jokowi sejak hubungan antara mantan presiden itu dengan partai retak. Bagi sebagian kalangan di PDIP, sikap keras Hasto dianggap bukti konsistensi menjaga "marwah partai" yang merasa dikhianati.
Di sinilah problemnya. Hasto lebih dilihat sebagai simbol perlawanan, bukan mesin elektoral.
---
Luka Harun Masiku dan Stigma Kriminalisasi
Kasus Harun Masiku adalah noda besar yang tak bisa dipisahkan dari nama Hasto. Publik masih ingat bagaimana ia terseret kasus suap yang melibatkan upaya meloloskan caleg PDIP ke DPR. Walaupun banyak kader partai menilai Hasto "dikorbankan" atau bahkan "dikriminalisasi", pengadilan membuktikan bahwa ia bersalah.
Amnesti dari Presiden Prabowo memang membebaskannya, tetapi secara hukum dan moral, amnesti tidak menghapus kesalahan. Ia tetap mantan terpidana kasus korupsi.