Mohon tunggu...
Gunawan P
Gunawan P Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kereta Cepat Jangan Sampai Tidak Tepat

21 Oktober 2021   21:24 Diperbarui: 21 Oktober 2021   21:58 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Gunawan Purbowo, Mahasiswa MM UNS

 

Kereta Cepat Jangan Sampai Tidak Tepat

 

Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung kembali diwarnai kontroversi. Sebelum pembangunan hingga peletakan batu pertama oleh Presiden Jokowi pada 2016 di Perkebunan Walini, Kabupaten Bandung Barat kontroversi sudah terjadi.

Beberapa pihak menilai kereta cepat belum dibutuhkan. Kereta yang ada saat ini sudah memadai dan sudah ada tol Jakarta-Bandung. Selain itu, jarak Jakarta-Bandung yang relatif dekat menyebabkan kecepatan kereta cepat menjadi tidak optimal. Apalagi harus berhenti di beberapa stasiun. Hal ini akan menyebabkan biaya operasional menjadi lebih mahal yang berdampak pada harga tiket. Sulit untuk bersaing dengan kereta reguler maupun travel yang jauh lebih murah. Belum lagi kemudahan menggunakan kendaraan pribadi melalui tol.

Adapula yang mengatakan kereta cepat merupakan proyek nanggung karena stasiun terakhir bukan di Kota Bandung melainkan di daerah pinggiran. Masalahnya dari stasiun menuju kota merupakan daerah macet. Diperparah dengan belum adanya moda transportasi yang memadai. Akibatnya perjalanan Jakarta-Bandung yang cepat bisa jadi percuma kalau perjalanan menuju Kota Bandung justru lama. Penumpang kereta cepat juga harus menambah waktu dan biaya sehingga menjadi makin tidak efisien.

Dengan beberapa alasan di atas, kereta cepat Jakarta-Bandung berpotensi terancam sepi penumpang. Nasibnya akan sama dengan kereta Bandara Soekarno-Hatta yang sepi penumpang hingga membebani BUMN sebagai operator. Padahal kereta bandara hanya bersaing dengan moda transportasi yang menggunakan tol.

Berbagai kritik dan kontroversi kemudian terhenti setelah China menawarkan nilai investasi yang lebih murah dibandingkan Jepang dan menjamin pembangunan tanpa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini kemudian ditegaskan dan disahkan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Tidak ada alasan lagi bagi pengkritik karena pembangunan kereta cepat adalah murni masalah bisnis. China menawarkan investasi dengan skema 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal yang berasal dari konsorsium BUMN. Investor inilah yang akan mengeluarkan modal karena yakin proyek pembangunan kereta cepat menguntungkan. Kalaupun nanti terjadi kerugian, toh yang akan menanggung adalah investor bukan para pengkritik.

Belakangan ini kontroversi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung muncul lagi. Dipicu oleh pembengkakan biaya yang terjadi. Semula biaya 5,9 miliar dollar AS menjadi 6,07 miliar dollar AS dan terbaru berpotensi menjadi 7,37 miliar dollar AS hingga 7,67 miliar dollar AS. Artinya dengan kurs di kisaran Rp14.200 per dollar AS, biaya proyek yang semula Rp83,8 triliun berpotensi bengkak hingga hampir Rp109 triliun.

Tidak hanya masalah biaya, jadwal pembangunan juga molor dari sebelumnya dirancang selesai pada 2021 menjadi 2022. Bahkan perkembangan terkini diperkirakan molor lagi hingga 2023. Masalah juga diperparah dengan kondisi keuangan beberapa BUMN yang bergabung dalam konsorsium sedang megap-megap karena terlilit utang. Akibatnya jika tidak ada upaya penyelamatan maka proyek pembangunan kereta cepat terancam mangkrak.      

Untuk menyelamatkan proyek pembangunan kereta cepat Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dari beberapa revisi pasal, yang paling jadi sorotan publik adalah revisi Pasal 4 sehingga proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung menjadi diizinkan untuk didanai APBN.

Kritik dan polemik menjadi meluas karena pemerintah akhirnya membuka peluang pendanaan APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) ke PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Dengan demikian, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa dikatakan bernasib sama dengan proyek LRT Jabodetabek. Pendanaan kedua proyek ini akhirnya banyak bergantung pada KAI, dimana pemerintah mengucurkan dana APBN yang tidak sedikit melalui PMN dan diberikan kepada PT KAI. Hal tersebut karena kontraktor LRT Jabodetabek, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, juga mengalami kesulitan pendanaan.

Karena pembangunan kereta cepat jadi melibatkan APBN maka publik berhak bertanya dan mempertanyakan. Sudah tepatkah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung? Sudah tepatkah pemerintah turut menanggung biaya pembangunannya? Sudah tepatkah studi kelayakan yang dilakukan? Jangan sampai kejadian ini berulang lagi di masa datang sehingga menjadi kontroversi yang tiada henti. Pemerintah perlu mengkaji dua opsi utama dengan hati-hati dan tidak perlu gengsi.

Opsi pertama adalah berhenti kalau memang diyakini proyek ini justru berpotensi semakin merugi. Optimalisasi dapat dilakukan dengan utilisasi investasi yang sudah terjadi. Memang tidak bisa maksimal sesuai harapan namun setidaknya bisa meminimalisir kerugian dan potensi kerugian yang lebih besar di masa depan. Jangan sampai proyek kereta cepat bernasib sama dengan proyek pesawat super cepat Concorde. Super cepat tapi tidak tepat hingga merugi dan akhirnya terpaksa berhenti karena tidak sanggup lagi menanggung rugi.

Awalnya Concorde merupakan sebuah kebanggaan keberhasilan mengembangkan pesawat komersial dengan kemampuan terbang melampaui kecepatan suara. Meski demikian, kebanggaan tersebut dibayangi oleh tingginya biaya yang telah dikeluarkan untuk pengembangan pesawat Concorde. Belum lagi operasional pesawat ini membutuhkan biaya yang tak kalah tinggi. Akibatnya harga tiket menjadi mahal. Hal inilah yang membuat load factor penerbangan menggunakan Concorde sangat rendah hingga harus menanggung kerugian. Setelah beberapa dekade beroperasi, akhirnya operator pesawat ini memutuskan untuk benar-benar berhenti karena sudah tidak sanggup lagi menanggung rugi.

Pilihan berhenti membangun proyek kereta cepat dialami oleh Malaysia yang bekerja sama dengan Singapura. Setelah melakukan kajian ulang, akhirnya pada 31 Desember 2020 lalu proyek dihentikan meskipun harus menanggung kompensasi kerugian. Lebih baik berani menanggung malu atau gengsi daripada menanggung lebih banyak rugi.

Opsi kedua adalah lanjut lagi kalau memang diyakini berhenti akan lebih merugi. Namun hal ini tentu dengan konsekuensi. Demi keadilan maka harus ada yang bertanggungjawab atas kesalahan perencanaan sehingga berpotensi merugikan negara. Yang pasti telah terjadi kegagalan tata kelola manajemen proyek. Oleh karena itu, langkah pertama adalah melakukan audit secara komprehensif. Ini menjadi bagian dari evaluasi dan pengendalian sehingga ke depan kesalahan serupa tidak terjadi lagi. Jangan sampai keputusan melanjutkan pembangunan kereta cepat menjadi keputusan yang tidak tepat sehingga menjadi preseden “Kereta Cepat Fallacy” seperti halnya “Concorde Fallacy”.

Pemerintah harus belajar dari beberapa hal sebelumnya. Pertama, kajian BCG yang saat awal pada 2015 ditugaskan sebagai konsultan proyek telah menekankan pentingnya kemampuan keuangan dibandingkan faktor lainnya. Kedua, pengalaman negara lain seperti Concorde dan kereta cepat Malaysia-Singapura yang mengalami kegagalan karena faktor kerugian keuangan. Ketiga, pengalaman sendiri yang telah terjadi sebelumnya pada proyek LRT Jabodetabek juga karena kendala kemampuan keuangan. Terakhir, pengalaman terkini proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang mengalami kendala keuangan.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, pemerintah jangan sampai membuat kesalahan serupa. Keputusan kereta cepat jangan sampai tidak tepat. Keputusan penggunaan APBN harus demi kepentingan rakyat. Jangan sampai bansos untuk rakyat yang masih melarat justru disunat gara-gara kereta cepat. Ingat, APBN adalah hak rakyat bukan pejabat apalagi konglomerat yang diduga diuntungkan dengan adanya proyek kereta cepat.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun