Mohon tunggu...
Gunawan
Gunawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Sekedar ingin berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Harus Waspada Ingin "Dibenturkan" dengan SARA

1 Maret 2018   06:00 Diperbarui: 1 Maret 2018   07:14 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Joko Widodo akan terus diserang dan dibentur-benturkan dengan isu sara. Apalagi menjelang pemilu dan pilpres 2019 nanti.  Isu sara ini adalah jualan yang murah meriah.

Mengapa  ini terus terjadi ? Sudah jadi rahasia umum bahwa siapapun tokoh yang bukan berasal dari partai agama walaupun dia beragama sesuai dengan agama partai itu tidak akan dianggap mewakili kepentingan partai dan umatnya.

Apalagi konon yang bukan beragama bukan mayoritas di negeri ini seperti kasus Ahok yang gampang sekali dihantam dengan isu sara.  Ahok yang terpeleset lidah mengomentari Surat Al Maidah ayat 51  menjadikannya terpidana kasus penistaan agama dan menggelincirkannya dari konstelasi pilkada DKI yang bergengsi.

Jadilah Ahok pesakitan yang menyesali diri dalam buih 2 tahun, yang seharusnya bisa jadi gubernur DKI untuk yang kedua kalinya namun gagal karena ulahnya sendiri.

Kasus Ahok adalah pelajaran besar bagi siapa saja politikus yang bukan dari partai Islam untuk mawas diri. 

Presiden Jokowi yang notabene berasal dari PDIP merupakan sosok yang walau Jokowi beragama Islam akan selalu dicari-cari kesalahan kehidupan beragamanya sampai Jokowi tidak jadi presiden lagi.

Kasus-kasus fitnah dan hoax akan terus digoreng menjelang pilpres ini. Kasus fitnah yang katanya Jokowi gak bisa jadi Imam Sholat, bacaan Al Qur'annya tidak fasih, Jokowi belum naik haji atau bahkan dituduh salah pakai kain ihram, minum pakai tangan kiri dan hal-hal yang seperti itu akan terus ditingkatkan dan memang berhasil mempengaruhi kalangan umat Islam yang fanatik kepada para ustadz nya.

Sejarah panjang mencatat bahwa siapa saja tokoh yang moncer tapi berasal dari PDIP akan selalu dijegal dengan isu agama khususnya Islam.

PDIP yang merupakan titisan dari PNI bentukkan Presiden Soekarno ini punya musuh politik yang sama sejak dahulu.

Anda mungkin pernah membaca sejarah DI/TII yang dipimpin oleh Karto Suwiryo memberontak untuk mendirikan negara Islam tapi digagalkan oleh Soekarno. Juga pemberontakan Permesta yang digagalkan presiden Soekarno.

Soekarno juga yang  menggagalkan (baca menyelamat NKRI dari perpecahan) sejak awal   adanya syariat Islam di Pancasila sila pertama. 

Bisa anda bayangkan jika dulu Pancasila seperti yang termaktub di piagam Jakarta maka umat di luar Islam terutama Indonesia bagian timur mendirikan negara sendiri. NKRI hanya tinggal sejarah yang terluka.

Inilah yang kemudian menjadi awal dendam kesumat dari partai agama yang kemungkinan punya idiologi yang menyimpang. Dendam kesumat ini tertuju pada satu orang yaitu Megawati yang notabene anak cucunya Soekarno sekaligus PDIP yang titisan dari PNI nya Soekarno.

Kebetulan Jokowi adalah dekat dengan Mega dan kader parpolnya yang sedang moncer dan berkuasa maka panah-panah api akan selalu mengarah kepada nya.

Ingat musuh dari luar juga masih terus ingin memporak porandakan persatuan NKRI. Jangan sampai negeri kita di-Suriah-kan karena masalah agama.

Benteng pertahanan NKRI adalah Pancasila dan bhinneka tunggal Ika. Jika ini hancur maka hancurlah NKRI. Jika parpol yang berkuasa nantinya akan menggantikan Pancasila ini alamat Indonesia dalam darurat dan itu jangan sampai terjadi.

Untung saja seorang Joko Widodo beragama Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Nilai plus Jokowi juga karena beliau orang Jawa yang juga suku mayoritas di Indonesia. Nilai plusnya lagi Islam nya Joko Widodo sejalan dengan Islam NU yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia.

NU walau bukan partai politik tapi umatnya mayoritas dan memiliki faham Hubul Wathan atau cinta tanah air yang sejalan dengan nilai nasionalisme. Walau NU juga diadu domba dengan kaum fanatik ini. Namun ideologi NU ini tak kan goyah karena masih adanya garis lurus penghubung yang kuat dengan garis para ulama dan kiayi yang bermazhab Syafi'i.

Jokowi dan PDIP harus waspada dan jangan sampai kepeleset lidah secara kasat mata menyinggung umat Islam. Ini akan menjadi senjata yang paling ampuh. Walau segudang prestasi selama menjabat jadi presiden periode pertama ini akan hilang bagai kemarau setahun disiram hujan sehari.

Kedekatan PDIP dan Jokowi dengan ulama dan warga NU juga harus terus ditingkatkan. Juga dengan Muhammadiyah yang merupakan pilar kebangsaan Indonesia.

Tapi intinya Jokowi harus merangkul semua pihak yang mau dirangkul. Tapi kalau yang gak mau dirangkul ya gak usah dipaksa nanti malah "mukul" saat dirangkul.

Bagaimana dengan partai nasionalis lain yang menjadi oposisi seperti Gerindra? Gerindra menjadi oposisi karena kedekatan partai itu dengan partai agama. Kedekatan bukan masalah ideologi tapi kedekatan yang saling memanfaatkan. Selagi masih bisa dimanfaatkan akan terus seperti itu. 

Tapi ini akan merugikan Gerindra yang kemungkinan tidak sadar dimanfaatkan. Ideologi partainya lama-lama bisa tidak nasionalis lagi. Bisa-bisa Gerindra akan berubah menjadi partai yang berideologi agama.

Gerindra akan menjadi partai abu-abu di ini menjadi warning Gerindra pada pemilu yang akan datang tidak akan mendapatkan suara dari kaum agamis dan ditinggal kaum nasionalis. Bisa-bisa perolehan suara Gerindra akan jeblok di pemilu 2019 nanti.

Gerindra dengan Prabowo seharusnya masih bisa bekerja sama dengan PDIP jika pak Prabowo mau menurunkan egonya dengan menjadi cawapres di pilpres 2019 berpasangan dengan Jokowi.

Daripada seumur hidup jadi capres kan masih mending jadi wapres seperti pak JK yang sudah 2 kali jadi wapres.

Jika memang pak Prabowo mengutamakan kepentingan anak bangsa dan membangun negeri bukan untuk membangun kekuasaan pribadi maka tak ada yang tak mungkin dalam politik.

Jargon politik tak ada musuh abadi dan tak ada kawan abadi itu memang benar. Bisa saja PDIP juga berangkulan dengan partai Islam.

Who knows 2019 nanti ditentukan oleh suara ke-14 partai yang akan bertanding di pemilu memperebutkan suara rakyat. Jika rakyat belum melek politik negeri ini selamanya akan terpuruk. Karena ganti pemimpin dan partai yang berkuasa akan ganti pula kebijakannya. Jika beruntung akan mensejahterakan rakyat jika salah pilih akan membuat rakyat tambah melarat.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun