Dalam beberapa obrolan ide dengan para Kompasianer yang konsisten menelurkan tulisan budaya, kami tiba pada sebuah kesimpulan bahwasannya kebudayaan tradisional itu bukan saja artefak/fosil masa lampau, melainkan masih relevan, kontekstual dan membumi hingga kini.
Dan lagi-lagi, untuk membumikan tradisi lokal itu salah satunya melalui Kompasiana ini.
Tentu saja manfaatnya sangat banyak, selain bertolak dari keinginan untuk memperkenalkan budaya lokal kepada dunia luar, juga untuk mencegah terjadinya pemutusan pengetahuan akan tradisi seiring lintas generasi.
Terkhusus untuk kami di Manggarai, misalnya, pengetahuan akan tradisi itu kami hanya peroleh lewat sekolah lisan (penuturan) para tetua di kampung. Sementara di sisi lain, hal ini tidak didukung dengan banyaknya referensi/sumber bacaan.
Dengan menulis seputar budaya Manggarai saya juga tidak ingin mendaku diri sebagai orang yang paling khatam dengan adat Manggarai. Tidak, tentu saja. Pemahaman saya tentang budaya Manggarai juga, kalau boleh dibilang, hanya seupil.
Apalagi, misalnya, berbicara dalam konteks Manggarai Raya (Barat, Tengah dan Timur) yang secara kedaluan beda lagi.
Tetapi poin pentingnya adalah sebagai generasi muda yang peduli akan kearifan lokal budaya Manggarai, saya coba mengumpulkan narasi-narasi itu sedikit demi sedikit dalam tulisan sederhana di Kompasiana ini.
Harapanya kelak tulisan-tulisan receh saya di Kompasiana bisa menjadi alternatif transformasi pengetahuan antarsesama kaum muda Manggarai.
Selebihnya, bermanfaat untuk dibaca oleh rekan-rekan dari komunitas lain yang notabene berbeda budaya.
Ah, cukup sekian dulu curhat saya sore ini.
Terima kasih Kompasiana sudah bersedia menampung artikel-artikel recehan saya. Terima kasih pula untuk rekan-rekan Kompasianer yang meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya.
Salam cengkeh, salam budaya. Tabe ^_^