Tetapi disisi lain, harga cengkeh di tengah petani kian kisut dan hingga kini belum kunjung ada tanda-tanda membaik.
Saat ini untuk harga cengkeh kering di wilayah Manggarai Barat, yakni Rp 65.000 per kg. Sementara untuk cengkeh basah Rp 20.000 per kg.
Tak aneh memang, soalnya setiap kali memasuki masa panen, harga cengkeh kering acapkali anjlok di tingkat pengepul maupun petani. Selebihnya, saya melihat ada masalah struktural di sini.
Masalah struktur yang saya maksudkan adalah, struktur pasar kapitalisme yang tidak adil di Manggarai Barat. Saya pikir fenomena ini tidaklah jauh berbeda dengan reksa wilayah lain di Indonesia. Tersebab, banyak teman-teman sesama petani cengkeh dari daerah lain yang mengeluhkan hal yang sama.
Terlepas dari tetek-bengeknya harga cengkeh tersebut, kami sekeluarga tak lupa untuk bersyukur, tentu saja. Lantaran, di tengah situasi batas (baca: pandemi Covid-19) ini masih tetap diberikan rejeki oleh Sang Khalik. Luar biasa pastinya.
Dalam hal ini, saya juga teringat akan kata-kata Hesiodos (filsuf Yunani kuno) yang mengatakan demikian;
“Manusia harus bekerja lantaran dewa-dewa (Tuhan) membuat makanan tetap tersembunyi, karena jika tidak, dengan mudah kamu akan memperolehnya dalam sehari apa yang kamu butuhkan untuk setahun”
Dalam konteks petani cengkeh seperti kami, misalnya, Hesiodos ingin mengatakan bahwa untuk urusan perut dan kesejahteraan hidup, kamu hanya perlu bekerja dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam artian menikmati apa yang telah di tanam. Terlepas dari persoalan harga komoditasnya, tentu saja.
Untuk masa panen tahun ini hasilnya amat sangat memuaskan. Yakni, kami berhasil memanen 2 ton cengkeh kering. Ini belum termasuk gagang bunga cengkeh kering.
Lebih lanjut, kami sekeluarga juga amat bahagia, karena kami setidaknya bisa membantu sesama dengan mengajak mereka yang kehilangan pekerjaan gegara pandemi untuk sama-sama memetik cengkeh di kebun.
Prinsip dasarnya adalah saling membantu dan/atau menolong.