Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU KUHP Adalah Hal Konyol dan Terjadi Cacat Logika

24 September 2019   14:59 Diperbarui: 24 September 2019   22:40 3497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gabungan mahasiswa berdemonstrasi di Lhokseumawe. (Datuk Haris/detikcom)

Rencana disahkannya RUU KUHP ini kandas, lantaran pihak pemerintah sendiri dalam hal ini Presiden Jokowi menunda pengesahan tersebut. Biar bagaimanapun dalam pengesahan sebuah Undang-UndangU harus ada persetujuan kedua belah pihak, baik Pemerintah dan DPR.

Respons penolakan terhadap rencana DPR untuk mengesahkan RUU KUHP yang syarat kontroversial ini juga datang dari masyarakat luas, hingga gelombang demonstrasi para Mahasiswa di beberapa kota di Indonesia yang sampai hari ini masih berlanjut.

Salah satu pertimbangan untuk segera disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah untuk mewujudkan hokum pidana nasional NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar NKRI tahun 1945, serta asas hukum yang diakui masyarakat beradap. Untuk itu, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Demikian bunyi konsideran RUU KUHP  dalam bagian 'Menimbang' yang selalu menjadi kalimat pembuka konsideran sebuah Peraturaan Perundang-Undangan. Nomor RUU yang awalnya akan diketuk palu untuk disahkan pada hari ini Selasa(24/9) yang masih dikosongkan.

Di dalam RUU KUHP, pasal-pasal yang dianggap kontroversial seperti tindakan pidana bagi pelaku perzinaan atau kumpul kebo. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagaian besar masyarakat: Negara sudah terlalu Over dan kurang kerjaan mengurusi wilayah privat rakyatnya.

Saya juga berpikir, bahwa seyogianya didalam kultus masyarakat Indonesia yang majemuk ini masing-masing punya pandangan hidup dan keajekan sosial yang  tumbuh ditengah masyarakat sebagai self control . Jadi Negara tidak perlu genit dan kebablasan dalam hal ini.

Sepakat bila pengesahan RUU KUHP ini ditunda dan bila perlu dibatalkan saja. Momentum ini harusnya dimanfaatkan oleh Pemerintah bersama DPR untuk berkaca diri sembari mengkoreksi pasal-pasal yang controversial dan bermasalah tersebut.

Lebih lanjut, ada beberapa pasal yang menuai pro dan kontra dalam RUU KUHP, sebut saja pasal 432. Yang mana disebutkan Wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan dan dianggap gelandangan dikenai denda 1 juta.

Gelandangan yang nota bene kaum yang terjamarginalkan secara ekonomi, malah dikenai denda. Sebenarnya Negara harus merangkul dan memberi mereka santunan agar taraf hidup mereka membaik.

Ada juga Pasal seperti Pasal 432 RUU KUHP, pengamen yang mengganggu ketertiban umum bisa dikenai denda 1 juta. Hukuman tersebut juga berlaku untuk gelandangan, tukang parker yang dianggap gelandangan serta disabilitas mental yang terlantar dan disebut gelandangan.

Yang paling naf ialah Pasal 218 RUU KUHP yang mengancam kebebasan Pers dan demokrasi: Jurnalis dan warganet yang menyampaikan kritik kepada Presiden terancam pidana 3,5 tahun. Pasal ini tidak jelas , karena tidak dijelaskan secara spesifik 'Kritik' yang dimaksudkan. Jangan-jangan kritik yang membangunpun tidak diperbolehkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun