Sebagai umat Buddha, tentu saja wajar jika saya merasa kagum dengan Sang Guru Besar, Buddha Gautama.
Ini adalah masalah keyakinan, dan itu sangat personal. Berhubungan dengan pengalaman batin yang kulalui, dan juga atas semua perjalanan hidup yang kujalani.
Bentuk kekaguman kepada Buddha Gautama tentunya dilewati melalui sebuah proses, berliku, penuh pergolakan batin, dan tidak terjadi begitu saja. Sebagaimana ajaran Buddhis sendiri, yaitu;Â Ehipassiko -- datang, melihat, dan membuktikan.
Ehipassiko adalah sebuah ajakan atau undangan bagi siapa saja untuk selalu hadir, melihat, melakukan verifikasi, mendapatkan bukti, dan tidak langsung percaya begitu saja.
Dengan demikian, setelah proses ini dilalui, maka keyakinan adalah masalah pribadi. Kembali kepada setiap individu yang menjalaninya.
Bagi saya sendiri, Ehipassiko adalah sebuah pernyataan yang menggelitik. Karena meyakini tanpa membuktikan tiada bedanya dengan mempercayai kabar tidak jelas.
Lantas semua pun kulakukan. Mendengarkan dan mempraktikkan Dhamma, membaca Sutta, hingga merasakan manfaat dari meditasi.
Namun, tetap saja ada yang terasa kurang. Keinginan semakin membuncah, tak tertahankan untuk selalu mencari.
Atas dasar ini, saya pun menuliskan artikel ini, terkait dengan pengalaman spiritualku menelusuri napak tilas dari Buddha Gautama di India.
**