“Sebuah bencana yang menjadi alarm bahwa alam selalu mempunyai cara untuk menegur manusia ketika mulai abai dan serakah.”
Bencana banjir bandang yang melanda Bali pada 10 September 2025 menjadi sorotan tajam terhadap tata kelola ruang Pulau Bali yang identik dengan kawasan pariwisata. Banjir ini merendam 123 titik di enam kabupaten/kota. Data terakhir mencatat 18 jiwa meninggal, lima hilang, ratusan warga harus mengungsi, dan kerugian besar lainnya. Duka ini bukan sekadar angka, tetapi potret nyata dan alarm dari pengabaian tata kelola ruang kota dan aspek ekologi dalam pembangunan. Akankah keindahan Pulau Bali itu perlahan akan sirna dan menjadi boomerang bagi manusia?
Menurut Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan dari Fakultas Geografi UGM Prof. Dr. Djati Mardiatno, S.Si., M.Si., banjir bandang tersebut dipicu oleh kombinasi hujan ekstrem dan berkurangnya tutupan lahan akibat alih fungsi lahan. Kawasan yang diterjang banjir merupakan daerah aliran Sungai Badung. Tak heran, sebagian besar area di kawasan sungai ini sangat padat dengan bangunan. Aliran air di permukaan dengan volume tinggi, memicu terjadinya banjir bandang. Tidak heran jika area resapan air semakin berkurang karena dalam dua dekade terakhir wajah Bali berubah drastis. Akomodasi wisata melonjak dua kali lipat, sehingga pembangunan hotel, villa, dan cottage di kawasan wisata meningkat. Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan di lereng bukit, sawah, subak, dan hutan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata, alih fungsi lahan di Bali sangat pesat, yaitu mencapai 1000 hektar per tahun. Banyak pembangunan pariwisata yang melanggar aturan pembatasan bangunan sebesar 20 persen dari luas lahan. Bahkan, kini bangunan mencapai 60 persen dari lahan. Akibatnya banyak area tutupan lahan yang berubah menjadi area pembangunan, sehingga membuat air hujan lebih banyak mengalir ke area permukaan daripada masuk ke dalam tanah.
Hal ini seolah memberi isyarat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak lagi memperhatikan keseimbangan ekologi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hanya menjadi dokumen formalitas, sementara implementasinya lemah dan sering dilanggar demi keuntungan semata.
Fenomena ini harusnya menjadi sebuah refleksi dan evaluasi bersama. Jika aturan atau hukum yang dibuat manusia saja bisa dilanggar manusia untuk kepentingannya sendiri, sampai kapan manusia akan puas dengan keserakahannya? Akankah menunggu alam hancur baru kesadaran itu akan muncul? Lalu, apakah solusi dari persoalan ini hanya sebatas memperbaiki sistem pembangunan saja?
Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya sekadar cuaca ekstrem atau hujan deras. Lebih dari itu, akar masalahnya terletak pada paradigma pembangunan yang menjadikan pariwisata dan keuntungan ekonomi sebagai orientasi utama, dengan mengorbankan aspek ekologi dan keselamatan rakyat. Inilah yang terjadi jika mindset sistem kapitalisme sekuler dijadikan dasar pembangunan.Fenomena banjir bandang Bali hanyalah satu potret dampak dari wajah pembangunan kapitalistik. Dalam kapitalisme, nilai utama yang dijadikan ukuran adalah keuntungan ekonomi semata, tidak lagi memperhatikan dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan. Bagaimana tidak, dalam mindset sekuler kapitalisme, agama tidak lagi dilibatkan dalam menjalankan urusan dunia. Manusia bebas bertindak dan membuat aturan. Jika aturan tersebut mengancam kepentingannya, berbagai cara akan dilakukan agar kepentingannya tetap berhasil sekalipun mengorbankan banyak hal yang merugikan. Keuntungan menjadi puncak dari segalanya, sehingga aturan yang dirasa menghambat pertumbuhan, seperti aturan lingkungan akan diabaikan.
Inilah mengapa, meski sudah ada RT/RW, aturan itu tidak ditegakkan dengan serius. Selama investor membawa modal, izin bisa dicari jalannya. Lahan produktif berubah fungsi dengan mudah. Semua dibenarkan demi “pertumbuhan ekonomi”, padahal yang sebenarnya tumbuh hanyalah angka-angka di laporan dan kantong segelintir elit global, sementara lingkungan dan rakyat semakin terpuruk. Sebagai contoh, hutan yang seharusnya berfungsi sebagai area resapan air, penyerap karbon dioksida, dan rumah bagi keanekaragaman hayati beralih fungsi menjadi kawasan pembangunan dan industrialisasi. Tentunya, tindakan ini sangat berbahaya terhadap keseimbangan ekosistem. Meskipun akhirnya banyak masyarakat yang bersuara dan menolak praktik alih fungsi lahan, kebijakan itu seolah padam ketika rakyat bersuara, tetapi akan kembali dijalankan ketika rakyat sudah diam. Oleh karena itu, permasalahan ini bukan hanya disebabkan oleh salahnya kebijakan semata, tetapi menyentuh akar permasalahan yaitu mindset sekuler kapitalisme.
Lalu apakah sebenarnya solusi hakiki yang dapat mengatasi akar permasalahan ini? Jika ditinjau selama ini, aturan yang dibuat manusia tidak akan pernah bisa sempurna mengatur kehidupan dan dapat diubah begitu saja demi kepentingan dan keuntungan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita kembali pada aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta Kehidupan, Allah SWT. Aturan paripurna yang tidak ada kuasa hawa nafsu di dalamnya, karena Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk ciptaannya. Dalam sistem Islam, aturan agama tidak boleh dipisahkan dari kehidupan, karena sejatinya aturan itulah yang akan menjaga setiap aktivitas manusia. Islam meletakkan syariat sebagai landasan dalam setiap aspek kehidupan. Jika selama ini kita memandang Islam hanya sebatas agama ritual saja dan semua adalah urusan individu saja, mungkin kita baru mengenal Islam sebatas permukaannya saja. Islam itu adalah agama yang sempurna dan sangat indah pengaturannya dalam menjaga manusia. Lebih dari itu, Islam adalah sebuah mabda’ atau ideologi yang menjadi dasar dalam melaksanakan persolan cabang dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam Islam, merusak alam merupakan perbuatan yang dilarang. Larangan merusak lingkungan jelas disampaikan melalui firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 205, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” Selain itu, dalam Islam, alam bukanlah objek komersialisasi. Air, hutan, dan sungai adalah amanah dari Allah yang berstatus milik umum, sehingga harus dikelola demi kemaslahatan bersama, bukan untuk segelintir pemodal. Dalam ayat lain Allah telah memberikan peringatan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41). Kerusakan ekologis, bencana banjir, longsor, dan krisis lingkungan lainnya sesungguhnya merupakan tanda peringatan. Allah mengingatkan manusia agar berhenti bersikap serakah dan kembali kepada aturan-Nya.
Negara dalam pandangan Islam wajib menjalankan perannya sebagai penjaga (ra’in) dan pengatur (mas’ul). Artinya, negara harus memastikan tata ruang dijalankan dengan benar, alih fungsi lahan tidak dilakukan sembarangan, serta kepemilikan umum dijaga agar tetap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir pemodal. Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pariwisata sebagai sumber utama pemasukan, Islam memiliki mekanisme ekonomi yang lebih kokoh dan adil. Pendapatan negara berasal dari sumber-sumber syar’i seperti: