Mohon tunggu...
Anggun Gunawan
Anggun Gunawan Mohon Tunggu...

seorang pemuda biasa (http://grepublishing.com)

Selanjutnya

Tutup

Money

Company (Baca: Kompeni)

4 Agustus 2010   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:19 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain menjadi PNS, bekerja di BUMN alias Badan Usaha Milik Negara merupakan impian banyak sarjana di Indonesia. Dengan gaji dan fasilitas memadai sekaligus suasana kerja yang lebih kondusif, BUMN jadi pilihan bagi anak-anak muda yang energik dan idealis untuk berbakti membangun negeri. Daripada harus jadi kuli perusahaan multinasional atau perusahaan milik kapitalis domestik. Meskipun digaji lebih tinggi tapi tenaga kita dikuras untuk memperkaya para expatriat yang kemudian menempatkan dirinya dalam jejeran orang terkaya di dunia.

Ketika BUMN diberikan keleluasaan untuk mengelola sumber daya alam dan jasa, bahkan beberapa menjadi pemain tunggal, namun masih saja kita mendengar laporan keuangan minus dari beberapa BUMN. Yang paling santer disebut oleh media adalah PLN dan PDAM. Dua pemain tanpa saingan di bidang kelistrikan dan air minum.

Meski sudah diusahakan dikelola dengan profesional, tapi tetap saja masih membebani negara. Ketika banyak BUMN yang melaporkan neraca keuangan minus tiap tahunnya, pemerintah keteteran menyusun anggaran. Karena laba BUMN sangat diharapkan tak kunjung masuk ke kas negara. Tentu kita akan bertanya-tanya, sudah diberi regulasi istemewa tapi kok ngak bisa bekerja maksimal?

Mungkin jawaban lebih ilmiah bisa diberikan oleh para pakar ekonomi dan para praktisi BUMN. Bergerak jauh dari analisa ekonomi, penulis mencoba melihat fenomena ini dari "pendekatan simbol", yang dulu sedikit pernah penulis pelajari saat kuliah di Fakultas Filsafat UGM.

Simbol atau logo perusahaan sangat terkait psikologi pasar. Logo memberikan image dan menghadirkan kesan kepada konsumen. Maka ketika Pertamina dan Telkom ingin punya maskot baru, mereka bela-belain menghabiskan uang miliaran rupiah.

Meski logo atau simbol sangat dipengaruhi oleh faktor psiko-ekonomis, agar market pasar lebih luas, namun semua itu tidak bisa dilepaskan dari faktor ideologis. Tiada satupun simbol tanpa makna. Semua memuat arti. Sementara arti lahir dari sebuah ideologi.

Marilah kita perhatikan logo-logo BUMN yang saat ini berjumlah 141 perusahaan. Jika kita lebih jeli memperhatikan maskot perusahaan-perusahaan negara yang sudah go public itu, ada fenomena menarik yang bisa ditangkap. Ternyata sebagian logo BUMN didominasi oleh warna biru.

Cubalah lihat logo Jasa Marga, PT. Telkom Indonesia, PT. Timah,  Asuransi Jasindo, KBN, RRI, Semen Gresik, Kimiafarma, Sucofindo, Bank Rakyak Indonesia, Bukit Asam.  Tampak jelas nuansa biru dalam logo perusahaan-perusahaan itu.

Kemudian, sejenak kita bayangkan jika warna bendera kita Sang Merah-Putih digandingkan dengan warna biru? Bukankah mirip dengan bendera Belanda??? Mungkin hanya sebuah kebetulan... Mungkin... Namun, melihat sepakterjang BUMN yang terus merugi walaupun sudah memonopoli, boleh-boleh saja kan kita mencoba membandingkan kinerja VOC yang kolaps gara-gara massifnya praktek korupsi dengan BUMN???

Pemerintah ngos-ngosan mencari jalan keluar bagaimana meminimalisir kerugian perusahaan plat merah itu. Rilis dari Menteri BUMN bulan januari yang lalu, menyatakan tahun 2008 ada 28 BUMN yang merugi. Tahun 2009 berjumlah 20 dan tahun ini ditargetkan hanya 10 saja yang merugi. Jumlah cuba diminimalisir lewat mekanisme akuisisi dan likuidasi.  Entah berapa BUMN yang merugi sebelum tahun 2008, tahun 1990-an, tiada penulis ketahui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun