Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol sebagai Muara Aktivisme Gen Z Supaya Tidak Dicap Rebelist dan Nggedabrus

19 September 2025   22:29 Diperbarui: 19 September 2025   22:29 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dentuman tuntutan 17+8 yang menggema di depan gedung DPR seolah menjadi lonceng keras yang membangunkan para boomers dan Gen X di pemerintahan. Mereka, yang mungkin sempat merasa nyaman di singgasana kekuasaan, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa generasi di bawahnya, Generasi Z (Gen Z), tidak lagi berdiam diri. 

Aktivisme mereka bukan lagi sekadar bising di linimasa media sosial, karena ini adalah gong awal untuk ikut serta dalam percaturan politik Indonesia.

Sebenarnya, pola ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum kemerdekaan, para pemuda sudah membuktikan diri sebagai penggerak perubahan. Mulai dari pergerakan Budi Utomo sebelum kemerdekaan, hingga gerakan-gerakan pemuda di era reformasi, sejarah mencatat bahwa kaum muda adalah pionir yang tak kenal lelah. 

Namun, ada satu tantangan baru yang kini dihadapi Gen Z, yakni bagaimana memastikan suara mereka tidak dicap sebagai rebelist atau bahkan dianggap nggedabrus (hanya banyak omong tanpa tindakan)? Jawabannya, menurut saya, terletak pada satu muara: partai politik.

Kekuatan Angka dan Tantangan Baru

Pemilu 2024 menjadi bukti nyata kekuatan Gen Z. Dengan 25,69% dari total suara pemilih, mereka menguasai seperempat lanskap politik Indonesia. Angka ini adalah potensi yang luar biasa, sebuah kekuatan massa yang bisa menggerakkan perubahan. 

Terlebih lagi, Gen Z memiliki alat yang lebih canggih untuk menggerakkan massa melalui media sosial. Tidak perlu lagi metode konvensional seperti door-to-door atau iklan di media cetak. Cukup satu unggahan, satu video, atau satu tagar, dan isu bisa menyebar bagai nyala api.

Namun, potensi besar ini juga diiringi dengan rintangan yang tak kalah besar. Pertama, dan yang paling krusial, adalah mahalnya biaya politik. Riset dari The Conversation menunjukkan bahwa seorang calon legislatif (caleg) bisa menghabiskan antara Rp 200 juta hingga Rp 5 miliar untuk bertarung di Pemilu 2024 lalu. 

Bayangkan jika angka itu dikalikan untuk sebuah partai baru, biayanya bisa mencapai triliunan rupiah! Ini adalah tembok raksasa yang bisa membuat para aktivis muda berpikir dua kali untuk mendirikan partai baru.

Kedua, ada tantangan yang lebih subtil, yaitu potensi disintegrasi suara. Kita bisa belajar dari pengalaman Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang sejak awal berdiri menjanjikan diri sebagai wadah bagi anak muda. 

Namun, hingga kini, partai yang berdiri pada 16 November 2014 ini belum berhasil mengirimkan wakilnya ke parlemen. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara finansial dan prosedural mampu, berada di papan catur politik membutuhkan lebih dari sekadar idealisme. 

Satu langkah kecil yang berbeda, bisa memecah belah suara yang awalnya bersatu dalam semangat "perubahan."

Memilih Jalan: Beradaptasi atau Mencipta?

Gong pembuka aktivisme Gen Z dengan tuntutan 17+8 telah membangkitkan perhatian publik. Sekarang, mata publik tertuju pada langkah mereka selanjutnya, atau kalau stagnan, hanya akan mendapat cap rebelist dan nggedabrus saja. 

Untuk itu, ada beberapa opsi untuk gerakan berikutnya:

  • Masuk ke dalam partai politik yang sudah ada: Ini adalah cara pragmatis untuk memengaruhi kebijakan dari dalam. Para aktivis bisa membawa ide-ide segar dan semangat baru ke dalam struktur yang sudah mapan, memaksa partai-partai lama untuk beradaptasi.
  • Menciptakan partai politik baru: Opsi ini memang terlihat lebih sulit dan penuh risiko, tetapi juga menjanjikan kemerdekaan penuh. Dengan membangun partai dari nol, Gen Z bisa memastikan bahwa nilai-nilai dan aspirasi mereka terakomodasi sepenuhnya, tanpa harus berkompromi dengan kepentingan politik yang sudah ada.
  • Tetap menjadi aktivis di luar sistem: Pilihan ini adalah jalan yang paling sering diambil. Para aktivis tetap menyuarakan aspirasi mereka melalui gerakan massa, protes, atau kampanye daring, tanpa terikat pada birokrasi partai. Namun, tanpa posisi formal di dalam sistem, suara mereka rentan dianggap sebagai "suara sumbang" atau "nggedabrus" yang tidak memiliki kekuatan nyata untuk mengubah kebijakan.

Perjuangan Gen Z ini adalah warna baru di wajah politik Indonesia. Ini bukan lagi hanya tentang warna hijau, pink, atau warna simbolis lain. Ini adalah tentang spektrum yang lebih luas, di mana banyak warna siap untuk menorehkan eksistensinya. 

Pertanyaannya adalah, apakah mereka akan memilih jalan yang efektif dan strategis, atau hanya akan berputar-putar dalam lingkaran idealisme tanpa hasil? Pilihan itu, ada di tangan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun