Kompasiana - Sepak bola, layaknya sebuah drama panggung kolosal, selalu menyuguhkan intrik, ketegangan, dan tentu saja, protagonis serta antagonis.Â
Namun, di era digital ini, panggung tersebut tak lagi hanya milik lapangan hijau. Media sosial menjadi arena tanding baru, di mana setiap gestur, setiap kata, bahkan setiap helaan napas seorang pemain bisa diperkarakan, dibedah, lalu dihakimi oleh jutaan juri dadakan yang bernama "fans".
Teranyar, episode kontroversial datang dari kubu Manchester United. Sebuah klub yang, mari kita jujur, sedang berada dalam fase terpuruk.Â
Setelah musim 2024/2025 yang berakhir antiklimaks, dengan finish di peringkat 15 EPL dan kegagalan di final UEL, amarah fans memuncak.Â
Dan seperti api yang mencari bahan bakar, Amad Diallo dan Alejandro Garnacho, dua permata muda United, menjadi tumbal di Kuala Lumpur.
Gestur "jari tengah" yang dilayangkan Amad dan Garnacho ke arah suporter di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, sontak menjadi headline. Media sosial riuh, kecaman berdatangan.Â
"Tidak pantas!", "Tidak menghargai fans!", "Sudah main jelek, makin tidak sopan!" -- begitulah kira-kira narasinya. Sebuah narasi yang, jika dicerna mentah-mentah, memang sulit untuk dibela.Â
Siapa pula yang senang melihat idola mereka melakukan gestur provokatif?
Namun, mari kita sejenak menepikan narasi permukaan itu. Mari kita menyelam lebih dalam ke lumpur persepsi, dan menemukan kerikil tajam yang mungkin terlewat.Â
Amad Diallo, lewat klarifikasi singkatnya di media sosial, melempar bom atom: ia melakukan itu karena dihina, terutama terkait ibunya. Sebuah klaim yang, jika benar, seketika mengubah lanskap moral dari insiden ini.