Kompasiana - Di tengah gemuruh kemajuan teknologi, Hari Seni Dunia yang diperingati tiap 15 April hadir sebagai pengingat akan esensi seni yang tak lekang oleh waktu: emosi.Â
Di era di mana kecerdasan buatan (AI) mampu menghasilkan karya visual yang menakjubkan, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah AI dapat menggantikan peran seniman manusia?
Jawabannya, sesederhana dan sekompleks emosi itu sendiri, adalah tidak.
Seni bukan sekadar reproduksi visual seperti chatGPT-4o yang sempat membuat gaduh dengan prompt Ghibli Studio-nya.Â
Seni adalah manifestasi dari jiwa, refleksi dari pengalaman hidup, dan ungkapan dari emosi terdalam. Inilah yang membedakan karya seni manusia dari hasil algoritma.
Mari kita tengok dua seniman saat ini dengan identitas kuat, yang sekalipun bisa direplikasi oleh AI, akan selalu tertulis nama mereka dalam prompt sebagai identitas: Banksy dan Hayao Miyazaki.
Banksy: Suara Jalanan yang Tak Tergantikan
Banksy, sang seniman jalanan misterius, telah lama menjadi ikon perlawanan dan aktivisme.Â
Karyanya, yang seringkali muncul di tembok-tembok kota secara tiba-tiba, sarat akan kritik sosial dan politik. Ia menggunakan seni sebagai senjata untuk menyuarakan ketidakadilan, menentang perang, dan mempertanyakan otoritas.
Coba bayangkan AI mencoba menciptakan karya ala Banksy. Mungkin saja AI dapat menghasilkan gambar tikus atau gadis kecil dengan balon, meniru gaya stensil yang khas.Â
Namun, AI tidak akan pernah mampu mereplikasi emosi yang terkandung dalam setiap karyanya. AI tidak memiliki pengalaman hidup yang membentuk pandangan Banksy tentang dunia. AI tidak merasakan kemarahan, frustrasi, atau harapan yang ia tuangkan dalam setiap coretan catnya.