Setiap kali mudik Jogja, kusempatkan jalan kaki pagi. Pagi itu, hari Minggu, kupilih jalan kaki pagi dari Tugu menuju Titik Nol yang letaknya tak jauh dari Alun-alun Utara Jogja. Dari Tugu menyusuri Jalan Mangkubumi – sekarang disebut juga Margo Utomo. Terus melewati rel kereta yang menghubungkan Stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan Jogja. Memasuki kawasan Malioboro yang sudah tertata: Hotel Garuda yang sedang renovasi, Maliboro Plasa, dan sederet becak motor dan beberapa andong berkuda yang sedang menunggu penumpang.
Sebelum tiba di Titik Nol, ada yang menarik perhatian. Toko Buku Sari Ilmu. Ingatan ke masa masih bersekolah di Jogja. Waktu itu jelang akhir 1980an, diantar kakak, mencari buku Titian Bahasaku. Bagi warga Jogja, Sari Ilmu yang sudah berdiri sejak 1950 dengan nama Hin Hoo Sing ini punya kesan tersendiri. Setelah setengah abad lebih, Sari Ilmu sekarang tak hanya menjual buku, melainkan aneka kerajinan dan oleh-oleh. Mencoba terus adaptif. Sangat masuk akal karena Maliobro setiap hari dikunjungi ribuan wisatawan.
Sari Ilmu mengingatkanku tiga tempat penting di Jogja yang kuanggap berjasa mengenalkan sekaligus memperkaya cakrawala literasi. Jogja sebagai kota pelajar seperti lembaran buku yang setiap sudutnya menawarkan pengalaman literasi. Berikut ini tiga tempat yang kebetulan di kawasan Kotabaru.
Selain Sari Ilmu, ada satu toko buku legendaris di Jogja. Ya. Toko Buku Gramedia. Buka di sekitar awal 1980an. Menjadi bagian Kompas Grup. Lokasinya strategis. Dekat perempatan ada Museum TNI AD, kantor DPP salah satu partai besar dan bank plat merah yang mengurus kredit rumah. Tepat di seberang toko ini ada juga pos polisi. Bagi masyarakat Jogja 1970- 1980 an, area ini kami sebut perempatan Korem. Tapi kini, orang lebih mengenal sebagai perempatan Gramedia yang gedungnya megah bercat putih menonojol.
Kilas balik ke awal 1980-an, ada cukup banyak toko buku di Jogja. Di antaranya Gunung Agung di sebelah Tugu Jogja. Sayangnya sudah gulung tikar. Selain itu, masih ada toko buku Kanisius yang awalnya di Kidul Loji, jalan Senopati sebelum pindah ke Kawasan Deresan Sleman. Serta toko buku Shopping Centre. Khusus yang terakhir ini banyak dijual buku-buku yang ramah bagi kantong pelajar dan mahasiswa.
Namun, minat membacaku sejatinya didukung juga dari rumah. Kebetulan salah satu kakak pernah kuliah sastra Inggris di UGM dan hobi mengoleksi buku. Meskipun tinggal di kampung Terban, kakak rajin mengoleksi buku, novel dan aneka resources lainnnya. Berkat koleksinya, sejak SD aku sudah berkenalan dengan novel Ahmad Tohari, puisi WS Rendra, esai Mangunwijaya, novel Arswendo dan sastrawan lain.
Jika pengin membaca buku-buku lain, ke Gramedialahyang kutuju. Selain dekat rumah di kawasan Terban, toko buku ini dekat sekolahku yang lokasinya persis sebrang Stadion Kridosono. Jadi, lokasi Gramedia tepat di jalur jalan kaki berangkat dan pulang sekolah. Maka, setiap kali ada kesempatan, bersama kawan SMP kusempatkan mampir sejenak di situ.
Meski tak menyediakan ruang baca khusus, Gramedia mempersilakan pengunjung membaca buku sambil berdiri. Bahkan sambil “nglesot”, duduk di lantai marmer pun tak ada larangan.. Dan entah mengapa baca buku di sana asyik saja. Setidaknya tidak dipelotoin penjaga. Seingatku sebagian besar buku tidak tersegel plastik. Pengunjung leluasa membacanya berlama-lama.
Gramedia waktu itu jadi mirip perpustakaan umum istimewa. Pengunjung bisa langsung ambil buku dan baca dalam ruangan berpendingin adem dengan alunan musik instrument lembut. Banyak buku mulai dari novel, olahraga, hiburan hingga sejarah tersedia. Dan semua buku bisa dibaca bebas. Benar, ini sangat bermanfaat bagi pelahap buku dengan uang saku pas-pasan sepertiku. Pendeknya Gramedia seperti “perpustakaan sekolah” kedua.