Mohon tunggu...
Gregorius Bintang
Gregorius Bintang Mohon Tunggu... -

FHUI 2010, a lawyer on progress and I've been choosing music as the way of my life

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

“Seorang Satpam, Tukang Becak dan Supir Taksi” Pernah Harumkan Nama Indonesia

17 Februari 2014   20:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 1942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ellyas Pical, Soeharto, dan Marina”, tak banyak anak muda Indonesia zaman sekarang yang mengenal ketiga pahlawan olahraga Indonesia tersebut.

Ellyas Pical "The Exocet", Soeharto “Si Otot Penggayuh”, dan Marina “Sang Wanita Penendang” adalah para mantan atlet Indonesia yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di dunia olahraga internasional. Hanya orang-orang yang hidup di jamannya saja yang mengenal mereka bertiga sebagai legenda olahraga Indonesia. Meskipun nama mereka tak setenar Maradona, Evander Holyfield, dan Mike Tyson, tetapi mereka mengusung satu visi dan misi yang sama dengan bintang olahraga dunia tersebut, yaitu mengharumkan nama bangsanya.

Coba saja tengok Soeharto “Si Otot Penggayuh”, mantan atlet balap sepeda ini telah menyumbang 2 perak bagi Indonesia pada SEA Games tahun 1977 di Thailand dari nomor jalan raya beregu dan perorangan. Tak cukup dengan medali perak, rasa cintanya pada Indonesia dan dunia balap sepeda ia buktikan dengan meraih medali emas pada dua tahun berikutnya yaitu pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor Team Time Trial jarak 100 kilometer dimana ia berhasil mengalahkan lawannya dari Malaysia dan Thailand demi berkibarnya bendera merah putih pada tiang tertinggi.

Serupa tapi tak sama, Ellyas Pical dan Marina juga tak kalah berprestasinya dengan Soeharto dalam mengharumkan nama Indonesia di dunia olahraga. Dengan pukulan hook dan uppercut kirinya yang terkenal cepat dan keras itu, The Exocet berhasil menjadi petinju Indonesia pertama yang meraih gelar internasional di luar negeri, tak heran namanya begitu melambung ketika berhasil mendapat gelar OPBF (Orient and Pacific Boxing Federation). Sepanjang karier profesionalnya dalam tinju internasional, rekor yand berhasil diraihnya adalah 20 kemenangan (11 KO), 1 seri, dan 5 kekalahan yang menjadikannya petinju legendaris Indonesia hingga saat ini. Tak jauh berbeda dengan “Sang Wanita Penendang”, demikian julukan penulis bagi Marina. Marina juga telah membuat harum nama Indonesia di dunia olahraga pencak silat. Hal tersebut dibuktikannya dengan berhasil memperoleh gelar juara pencak silat Asia yang saat itu diselenggarakan di Singapura.

Semua fakta tentang keberhasilan para legenda olahraga Indonesia dalam mengharumkan nama bangsa, seakan tak cukup untuk membuat mereka mendapatkan kehidupan yang layak di hari tuanya. “Seperti kacang lupa kulitnya”, begitulah bangsa ini memperlakukan para mantan atlet Indonesia di hari tuanya yang hidup terlantar dan serba kekurangan. Soeharto misalnya, nasibnya saat ini benar-benar berbeda 180 derajat pada saat masa kejayaannya. Saat ini, pria berumur 59 tahun ini, mengayuh becak tiap harinya untuk mencari sesuap nasi dan menghidupi istri dan ketiga anaknya yang saat ini tinggal di sebuah kamar kostan berukuran 2x3 meter di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun. Kondisi kesehatannya yang semakin buruk dengan penyakit Hermia yang diidapnya, membuatnya harus mengikat perutnya dengan bekas ban dalam sepeda untuk mengurangi rasa sakitnya. Rasa sakit yang ditimbulkan penyakitnya tersebutlah yang membuat ia memberanikan diri untuk meminta bantuan ke KONI Surabaya. Dhimam Abror Djuraid yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Harian KONI Jatim sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu. Berkat bantuan biaya dari KONI Jawa Timur, operasi pengangkatan hermia diperut Soeharto pun dilakukan. Dan sekarang, Soeharto belum bisa mengayuh becaknya karena butuh waktu 3 bulan untuk pemuliahan operasinya.

Nasib yang miris juga dialami oleh Ellyas Pical dan Marina. Setelah berhenti dari dunia tinju, Ellyas Pical sempat bekerja sebagai satpam sebuah diskotik di Jakarta. Tak jauh berbeda dengan Ellyas Pical, Marina sejak mengakhiri karirnya di dunia pencak silat dan kemudian ditinggal cerai oleh sang suami, setiap hari wanita ini harus membanting tulang sebagai supir taksi untuk menghidupi kedua anaknya.

Cerminan tentang kehidupan mantan atlet di Indonesia sungguh memprihatinkan. Pemerintah seakan-akan tak tahu atau tak mau tahu akan kesejahteraan mantan atlet Indonesia, terutama mantan atlet yang telah berjasa mengharumkan nama Indonesia di kejuaraan Internasional. Tak ada jaminan yang jelas dan pasti dari pemerintahlah yang banyak dikeluhkan oleh para mantan atlet Indonesia di hari tuanya sehingga seringkali mereka justru mengundurkan diri dari dunia olahraga dan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Hal tersebutlah yang dialami oleh Soeharto. Ia memutuskan berhenti dari dunia balap pada tahun 1981 karena tuntutan ekonomi. Menurut wawancara yang dilakukannya dengan salah satu majalah lokal, pada saat itu tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan. Amat disayangkan memang, Indonesia Tanah Airku, “tanah bayar, air juga bayar”.

Mungkin ketidakjelasan jaminan dari pemerintah untuk atlet di masa tuanyalah yang menjadi salah satu faktor hanya sedikit dari sekian juta orang di Indonesia yang tertarik untuk menjadi atlet. Padahal jaminan kehidupan pada para atlet yang telah mendapatkan banyak penghargaan tersebut dijamin dalam Undang-Undang No 3 tahun 2004 pasal 86 ayat 1 dan 3 Bab XIX tentang Penghargaan yang berbunyi :

(1) Setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi penghargaan,

(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.

Ketentuan Undang-Undang tersebut sangatlah berpengaruh bagi kehidupan atlet di hari tuanya, mengingat profesi atlet sangatlah berbeda dengan pekerjaan seorang karyawan pada umumnya, dimana umur seringkali menjadi patokan produktivitas seorang atlet. Lihat saja sekarang, jarang sekali atlet Indonesia berumur diatas 40 tahun yang masih diikutsertakan dalam kejuaraan karena pada kebanyakan cabang olahraga, kebugaran fisik sangatlah menentukan dimana kebugaran fisik sering diidentikkan dengan umur muda. Tidak bijaksananya Pemerintah dalam menerapkan UU no 3 tahun 2004 terutama dalam hal jaminan bagi kehidupan atlet di hari tuanya telah membuat kebanyakan masyarakat enggan untuk menjadi atlet. Maka tak heran, dunia olahraga Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin sedikitnya prestasi olahraga Indonesia di tingkat internasional.

Kurang pedulinya pemerintah Indonesia terhadap jaminan hari tua bagi para atlet sangat berbanding terbalik dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dimana pemerintahnya sangat memperhatikan kemakmuran para atlet, sehingga atlet pun dapat fokus untuk berlatih demi mencapai prestasi tanpa memikirkan ketidakjelasan nasib di hari tua. Hal tersebutlah yang mengakibatkan negara tersebut semakin berkembang dalam dunia olahraga tingkat internasional. Seringkali orang mencibir para mantan atlet yang sekarang hidup susah karena dianggap tidak bisa memanfaatkan jerih payah atau gaji dan bonus yang mereka dapat ketika memenangkan kejuaraan untuk jaminan di hari tua. Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan wawancaranya dengan sebuah majalah lokal, Soeharto mengatakan bahwa ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini. Dia hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi Surabaya dan hanya diajak makan-makan, tanpa diberi uang saku atau bonus. Seperti itulah resiko yang harus ditanggung para mantan atlet yang dulu telah mengharumkan nama Indonesia, dimana tak ada bonus dan jaminan kesejahteraan di hari tua yang jelas. Tak berbeda jauh dengan Soeharto, Ellyas Pical juga mengalami nasib yang sama. Karena tuntutan ekonomi, ia sempat terjerat kasus narkoba dan dihukum penjara 7 bulan. Penangkapannya sempat menuai kritikan dari berbagai pihak yang menyoroti tiadanya jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada atlet yang telah mengharumkan nama Negara. Beruntung setelah keluar dari penjara, Ellyas Pical diterima bekerja di KONI namun hanya digaji sebesar 700 ribu Rupiah. Begitu pula dengan Marina, tak sedikit halangan yang ia dapati untuk kemudian akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang supir taksi. Larangan dari kedua anaknya dan faktor gender yang masih tertanam di masyarakat membuatnya ragu untuk mejadi supir taksi. Namun semua itu sirna, ketika ia pantang menyerah dan hingga kini kedua anaknya justru bangga melihat perjuangan ibunya untuk menghidupi mereka.

Keprihatinan akan kehidupan para mantan atlet yang miris wajib dirasakan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia mengingat mereka telah banyak berjasa dalam mengharumkan nama Indonesia. Pemerintah harus lebih peduli untuk pada para atlet yang nantinya akan pensiun muda. Banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya saja tetap mempekerjakan para mantan atlet sebagai pelatih ataupun pembimbing para atlet muda untuk memberikan ilmu dan pengalaman yang mereka miliki. Sebab sejujurnya mereka semua masih terus ingin mengharumkan nama Indonesia, meskipun hanya di balik lapangan.Seperti keinginan yang pernah diungkapkan oleh Soeharto dalam sebuah wawancara dengan majalah lokal, "Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh,".

Ellyas Pical, Soeharto, dan Marina hanya segelintir dari para mantan atlet yang sekarang hidup memprihatinkan. Dengan adanya kisah dari para mantan atlet ini, diharapkan bangsa ini dapat memunculkan rasa keprihatinan dengan cara memberikan suatu jaminan hidup bagi para atlet secara jelas sehingga para atlet sekarang dapat lebih lega hati dan fokus sepenuhnya untuk berprestasi dan mengharumkan nama bangsa. Semoga di kemudian hari tidak ada lagi Soeharto-Soeharto lain, mantan atlet yang harus mengayuh becak di hari tuanya.

Ellyas Pical Raih Lifetime Achievement Award, diakses dari internet tanggal 2 Oktober 2011 pukul 15.20

Cerita Sedih Lebaran: Mantan Juara SEA Games Jadi Penarik Beca,diakses dari internet tanggal 2 Oktober 2011 pukul 16.00

Biografi Ellyas Pical, Petinju Indonesia Pertama Meraih Gelar Juara Tinju, diakses dari internet tanggal 2 Oktober 2011 pukul 16.05

Nasib Marina, Mantan Atlet Silat Tingkat Asia Yang Kini Jadi Supir Taksi, diaksesdari internet tanggal 2 Oktober 2011 pukul 16.15

Ellyas Pical Hanya Digaji Rp 700 Ribu? diakses dari internet tanggal 2 Oktober 2011 pukul 16.10

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun