Mohon tunggu...
Gregorius Agung Wicaksana
Gregorius Agung Wicaksana Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money

Kewirausahaan Sosial: Urgensi Mahasiswa Indonesia

6 Mei 2011   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 3232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_107765" align="alignleft" width="325" caption="social entrepreneurship"][/caption]

Semakin banyaknya sarjana yang ada di Indonesia mengindikasikan semakin besar pula tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, namun yang nampak saat ini dalam masyarakat ialah banyaknya sarjana yang justru menjadi pengangguran. Tingginya angka pengangguran terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan jumlah industri atau usaha yang ada. Jumlah sarjana yang semakin banyak dengan tanpa pekerjaan semakin memicu tingginya angka sarjana yang menjadipengangguran. Pada bulan Februari 2011 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,8 persen atau 8,12 juta jiwa. Angka ini menurun ketimbang periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 8,59 juta orang, turun 470 ribu orang. Februari 2010 pengangguran mencapai 7,41 persen atau sebanyak 8,59 juta jiwa. Jumlah ini dua kali lipat penduduk Singapura[1].

Kebutuhan akan wirausahawan merupakan suatu peluang dan tantangan bagi generasi muda untuk memilih kewirausahaan sebagai karir dengan berwirausaha dalam rangka ikut membantu membangun perekonomian bangsa.Mahasiswa perlu diberi semangat untuk berwirausaha dan pemahaman mengenaikewirausahaan agar tidak ikut-ikutan dengan fenomena umum, yaitu ada kecenderungan lulusan perguruan tinggi tidak percaya diri untuk bekerja mandiri.Mahasiswa yang lulus pada umumnya memilih bekerja di perusahaan atau orang lain dan menjadi karyawan pemerintah maupun swasta.

Kewirausahaan memiliki arti yang penting bagi perekonomian suatu bangsa, bahkan disebut sebagai tulang punggung perekonomian (the backbone of economy) atau pengendali perekonomian bangsa. Kewirausahaan adalah semangat, sikap dan kemampuan individu dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja baru,teknologi baru dan produk baru atau memberi nilai tambah barang dan jasa. Seorang wirausahawan akan berupaya mencapai keberhasilan usahanya untuk kemakmuran individu maupun kelompok yang akan membawa kemakmuran bagi lingkungan. Wirausahawan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam lingkungan sosialnya dan pada akhirnya membantu perekonomian bangsa[2].

Prinsip ekonomi memberikan pelajaran bahwa dengan memanfaatkan sumber daya secara maksimal dan pemerataan hasil sumberdaya yang terdistribusikan secara adil sangat memberikan manfaat terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Berwirausaha sangat mencerminkan prinsip tersebut karena seseorang akan berusaha memanfaatkan sumberdaya yang ada secara maksimal untuk membangun bisnis dan memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas dari bisnis yang dikembangkan.

Kewirausahaan merupakan salah satu alternatif yang patut kita pandang saat ini untuk menekan angka kemiskinan di Indonesia. Hinga April 2011, angka kemiskinan sebesar 13,33 persen turun dari angka di tahun 2010 sebesar 14,15 persen[3]. Jumlah pengangguran mencapai angka 7,5 juta jiwa, jika dipersentasekan menjadi 6,5 persen. Jumlah itu menurun dibandingkan data tahun 2010 sebesar 8,32 juta jiwa (7,14 persen). Rasio utang luar negeri juga turun terus, yakni 27 persen[4]. Melalui jalur wirausaha, seorang wirausahawan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Terutama untuk mahasiswa, sekarang bukan zamannya bingung mencari kerja, tetapi berpikir untuk membangun usaha baru yang siap menampung tenaga kerja. Karena tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas 2 juta orang. Merekalah yang kerap disebut dengan "pengangguran akademi[5]. Meskipun lapangan kerja yang dibuka oleh seorang wirausaha muda tidak terlalu besar, akan tetapi melalui usaha yang dirintis mampu menghidupi beberapa orang. Orang-orang tersebut dapat dipastikan mereka adalah tumpuan perekonomian keluarganya. Berarti secara tidak langsung wirausahawan-wirausahawan muda ini telah menjadi pahlawan masa kini karena membantu menghidupi suatu keluarga.

Pentingnya berwirausaha diakui Bank Dunia: mereka dianggap mesin yang efisien untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan jangka panjang[6]. Sejauh ini, mengutip Ciputra, jumlah wirausahawan di Indonesia hanya ada di kisaran 0,18% dari jumlah penduduk, artinya ada sekitar 400 ribu orang. Untuk urusan mencetak entrepreneur, Amerika Serikat adalah jagonya. Negeri Paman Sam ini adalah apa yang disebut sebagai beacon of entrepreneurialism. Antara 1996 dan 2004, di negeri ini tercipta rata-rata 550 ribu bisnis setiap bulan[7]. Banyak dari bisnis itu kemudian bergerak membesar, tetapi banyak juga yang tumbang, layu sebelum berkembang. Mereka telah berjasa untuk hampir semua penciptaan lapangan kerja. Maka untuk Indonesia, di sinilah isu genting itu sebenarnya berada: melahirkan wirausaha, mengejar gap dari 400 ribu menjadi 4,5 juta wirausaha.

Pendidikan memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam hal penanaman semangat kewirausahaan. Perguruan Tinggi terutama sekolah bisnis sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal yang mendukung kewirausahaan akan mendorong individu menjadi seorang wirausahawan. Pilihan untuk berwirausaha akibat faktor pendidikan disebabkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan mengenai kewirausahaan. Pengetahuan tersebut sebagian besar diperoleh dari mata kuliah yang memang fokus dalam pembentukan jiwa wirausaha. Kewirausahaan dapat dipelajari pula dari seminar, pelatihan, kompetisi rencana bisnis, maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) melalui usaha mencari dana saat akan mengadakan kegiatan tertentu.

Wirausahawan yang mengenyam bangku pendidikan lebih tinggi cenderung lebih berhasil karena mereka memperoleh ilmu manajemen modern sehingga mereka lebih terampil secara pengetahuan untuk mengelola suatu bisnis. Pendidikan yang lebih tinggi pun akan membawa seorang individu untuk memiliki rekan banyak sehingga memiliki jaringan sosial yang lebih luas yang diperlukan untuk mengembangkan usaha, mampu melakukan analisis mengenai tindakan yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah, dan cenderung berpikir panjang untuk melihat permasalahan dari berbagai aspek. Sehingga mendapatkan penyelesaian masalah yang sesuai. Pendidikan akan memberikan masukan bagi individu mengenai pengalaman-pengalaman yang pernah dirasakan orang lain yang kemudian dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran bagi individu ketika ia memutuskan untuk berwirausaha.

Kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi seorang wirausahawan sejati sebenarnya cukuplah sederhana. Yaitu, orang tersebut memiliki pola pikir untuk bisa mandiri secara ekonomi agar kebutuhan hidup pribadinya dan orang lain tercukupi. Selain itu setiap orang yang memilih jalur pengusaha dituntut untuk selalu berpikir kritis dan kreatif. Di sisi lain keuletan dan etos kerja yang tinggi tetaplah dibutuhkan. Berimbangnya antara seni, intuisi, dan kerja keras lah yang mampu menghasilkan calon-calon pengusaha yang militan, selalu berjuang menghadapi tantangan, dan rintangan yang suatu saat siap menghadang.

Semangat berwirausaha akan lebih mulia lagi apabila kita melakukan dengan ikhlas hati dan untuk tujuan sosial. Selain itu ada beberapa nilai tambahan yang wajib ditanamkan pada pola pikir seorang wirausaha sosial. Antara lain, rasa peka terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Berawal dari sini muncul rasa peduli yang tumbuh menjadi suatu bentuk pola pikir dan tindakan nyata berupa kewirausahaan sosial.

Jenis kewirausahaan seperti ini sedang menjadi tren saat ini, yaitu kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Bill William Drayton, pendiri Ashoka adalah orang yang menggunakan istilah social entrepreneur pertama kali di dekade 1980-an. Ashoka adalah lembaga yang aktif mendorong lahirnya social entrepreneur. Menurut Bill William Drayton, seharusnya di masyarakat ada 1 social enterpreneur di antara 10 juta penduduk. Kalau kita ada 230 juta penduduk, setidaknya setiap tahun kita harus menciptakan 23 social entrepreneur. Akan tetapi di kenyataanya, angka tersebut masih terlalu kecil untuk mengubah perekonomian bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Kewirusahaan sosial merupakan solusi alternatif yang kreatif karena tidak hanya berorientasi pada keuntungan belaka akan tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang dilibatkan. Melalui kewirausahaan sosial, masalah ekonomi Indonesia dapat sedikit teratasi. Karena dengan ini, masyarakat akan terlibat langsung dalam menjadi pelaku bisnis dan keuntungannya akan dikembalikan lagi ke masyarakat untuk dikembangkan. Tujuan jangka panjangnya, kewirausahaan sosial dapat membantu masyarakat menjadi lebih mandiri dalam hal perekonomian dan tidak selalu menggantungkan pada kebijakan pemerintah yang cenderung hanya sebagai pemanis buatan, seperti subsidi dan bantuan langsung tunai.

Di beberapa negara, kewirausahaan sosial terbukti mampu memberi dampak besar pada suatu bangsa. Seperti, Muhammad Yunus penerima nobel perdamaian tahun 2006 yang menciptakan sistem kredit mikro bagi kaum miskin di Bangladesh[8]. Meskipun Muhammad Yunus sekarang sudah keluar dari usaha yang dirintisnya sendiri dari nol ini, semangat berwirausaha sosialnya patut dicontoh.

Sebagai mahasiswa Indonesia, kita memilki pedoman Tri Dharma Perguruan Tinggi yang sepatutnya kita junjung tinggi. Selain pendidikan dan penelitian, di situ juga tercantum pengabdian masyarakat. Ini lah poin penting kita sebagai mahasiswa untuk membawa perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat. Salah satu contoh nyata yang bisa kita lakukan adalah kewirausahaan sosial ini. Tindakan ini cukup realistis, aplikatif, dan berkelanjutan saat diterapkan di masyarakat. Daripada mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata atau biasa disebut KKN di desa-desa yang memakan anggaran cukup besar dan berdampak yang tidak terlalu signifikan untuk desa yang ditumpangi. Bahkan sering kali dengan kedatangan mahasiswa KKN di desa tersebut malah membawa keresahan bagi warganya. Kegiatan yang awal tujuannya baik justru berbuntut bencana. Sering kali mahasiswa dari kota ke desa masih membawa sifat arogansinya ke desa. Sehingga masyarakat sekitar kurang bisa menerima kehadiran mereka. Padahal tujuan dari KKN salah satunya mendekatkan mahasiswa ke masyarakat agar tahu realita di masyarakat yang sebenarnya seperti apa. Tidak jarang juga, justru kegiatan KKN mahasiswa digunakan sebagai ajang liburan untuk berfoya-foya, sehingga esensi dari pengabdian masyarakat yang tertanam di dalam kegiatan KKN ini tidak berhasil.

Selain Tri Dharma Perguruan Tinggi, secara tidak langsung mahasiwa Indonesia memilki beban moral untuk memperbaiki perekonomian bangsa saat ini. Karena nasib rakyat Indonesia ke depannya juga bakal bergantung pada kita, mahasiswa Indonesia sang generasi penerus bangsa. Apabila kita memiliki komitmen untuk terus melakukan perubahan di bidang ekonomi kerakyatan, maka sektor kewirausahaan sosial dapat dikembangkan dengan penuh kesungguhan yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kewirausahaan sosial bukan hanya semata-mata menjadi alternatif bagi pengatasan pengangguran dan kemiskinan, akan tetapi juga memiliki hubungan langsung dalam perbaikan kesejahteraan bangsa secara menyeluruh. Kewirausahaan sosial adalah wahana penyebaran nilai kepada masyarakat bahwa setiap manusia yang hadir di dunia ini mengemban tugas sosial. Apabila kewirausahaan bisnis menuntut setiap orang meraih keuntungan dan memupuk kekayaaan, maka kewirausahaan sosial mengajarkan bahwa setiap orang harus peduli dan memberi kontribusi kepada masyarakat.

[1] Jawa Pos, Jakarta.Jum'at, 06 Mei 2011

[2] Chasbiansari, Dyas. Peneliti tentang Kompetensi Sosial dan Kewirausahaan. Mahasiswa Psikologi Universitas Diponegoro. 2007

[3] Biro Pusat Statistik 2010

[4] Tempo Interaktif, Jakarta. Kamis, 5 Mei 2010.

[5] Survei tenaga kerja nasional tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas)

[6] The Economist, 29 Oktober 2009

[7] Suara Media. Rabu, 2 Juni 2010

[8] Yunus, Muhammad. 2007. Bank Kaum Miskin. Jakarta: Marjinkiri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun