Mohon tunggu...
Grace Johanna
Grace Johanna Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pajak, Utang, atau Gaji Karyawan, Manakah yang Menjadi Prioritas Saat Perusahaan Pailit?

18 Oktober 2021   01:14 Diperbarui: 18 Oktober 2021   07:24 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penerimaan terbesar bagi bangsa Indonesia hingga saat ini masih dihasilkan melalui sektor perpajakan. Dengan presentase penerimaan lebih dari 70%  pajak seringkali menjadi fokus utama dalam penerimaan negara. Intensifikasi dan ekstensifikasi gencar dilaksanakan demi meningkatkan potensi penerimaan melalui sektor perpajakan, tidak hanya itu pengaturan dari segi hukum juga dilakukan demi menjamin kepastian hukum dalam tindak penagihan dan proses pemajakan. 

Namun pengaturan hukum bidang perpajakan sering kali tidak di adopsi oleh peraturan hukum lainnya, sehingga beresiko menyebabkan ketidakpastian hukum. Salah satu diantaranya adalah mengenai pengaturan Hak Mendahului dalam UU Kepailitan, UU Perbankan, dan UU Ketenagakerjaan bila dibandingkan dengan pengaturan Hak Mendahului Utang Pajak yang diatur dalam UU KUP. 

Hak mendahului dalam UU KUP diatur dalam Pasal 21, pada ayat 1 yang berbunyi " Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak." 

Dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP disebutkan bahwa ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Namun dalam pelaksanaan penagihan pajak, tidak jarang ditemui Wajib Pajak yang juga memiliki utang pada pihak lain, sedangkan harta yang dimiliki Wajib Pajak tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya. 

Sebenarnya dalam UU KUP Pasal 21 ayat 3a telah ditegaskan bahwa hak mendahului negara dalam memperoleh pelunasan utang dari debitur pailit, dimana kurator lainnya dilarang membagikan harta debitur (Wajib Pajak) kepada kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak. Namun Ketentuan tersebut tidak di adopsi dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

Tidak diatur secara tegas kedudukan negara dalam memperoleh pelunasan utang pajak dari Wajib Pajak yang telah dinyatakan pailit. Tetapi dalam UU tentang Kepailitan diatur hak mendahului kepada kreditur separatis dan kreditur preferen. Kreditur sendiri dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu:

  • Kreditur Separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Kreditur Separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan dan mendapatkan pembayaran piutang terlebih dahulu dibanding Kreditur Konkuren.
  • Kreditur Preferen yaitu kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur Preferen terdiri dari Kreditur preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur Preferen Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.
  • Kreditur Konkuren yaitu kreditur yang tidak termasuk dalam Kreditur Separatis dan Kreditur Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).

Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi. Namun bila diperhatikan kreditur preferen dalam UU KUP dan kreditur preferen dalam UU Kepailitan memiliki perbedaan makna, dimana dalam UU KUP, negara sebagai kreditur preferen memiliki hak untuk mendahulu atas utang pajak, sedangkan dalam UU Kepailitan, kreditur preferen memiliki hak mendahului setelah kreditur separatis. Maka, makna kreditur preferen dalam pajak tidak dapat disamakan maknanya sebagaimana kreditur preferen dalam kepailitan.

Sedangkan dalam UU Perbankan, Hak Mendahului tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam pasal 1 angka 23 UU Nomor 10 Tahun 2020 dijelaskan bahwa Agunan adalah jaminan tambahan (accesoir) yang diserahkan Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Agunan yang merupakan suatu fasilitas bagi Kreditur bila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya di kemudian hari.

Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menetapkan bahwa, segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya, dan lebih lanjut diatur dalam UU Hak Tanggungan. 

UU Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang istimewa kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, di dalamnya dinyatakan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan salah satu ciri memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya, yang dikenal sebagai "droit de preference," yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang antara lain berbunyi: ".... untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun