Peristiwa yang terjadi pada Mei 2025 kembali mengguncang fondasi moral dunia pendidikan tinggi Indonesia. Seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, berinisial WJ, telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pelecehan seksual terhadap tujuh mahasiswi penerima beasiswa Bidikmisi. Yang memperparah keadaan, peristiwa ini terjadi di lingkungan asrama putri kampus---ruang yang semestinya menjadi tempat paling aman dan terlindungi bagi mahasiswa. Kejadian ini bukan semata-mata mencederai integritas profesi akademik, melainkan juga menyingkap persoalan yang lebih mendasar: lemahnya pembangunan relasi kemanusiaan (human relation) dalam dunia pendidikan tinggi kita.
Dalam beberapa tahun terakhir, arah pengembangan perguruan tinggi di Indonesia cenderung ditentukan oleh pendekatan teknokratis. Indikator keberhasilan institusi pendidikan sering kali diukur dari capaian akreditasi internasional, peningkatan kuantitas publikasi ilmiah, kemajuan peringkat global, dan efisiensi birokrasi. Di tengah semangat pencapaian ini, dimensi relasional antarmanusia di lingkungan kampus justru kerap terabaikan. Padahal, hubungan yang sehat dan bermartabat antara dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga pimpinan institusi merupakan fondasi utama bagi terbentuknya atmosfer akademik yang aman, inklusif, dan manusiawi.
Kasus yang menimpa WJ merupakan cerminan nyata dari bagaimana relasi kuasa yang timpang di dalam institusi pendidikan dapat membuka celah penyalahgunaan wewenang. Sebagai pengasuh asrama, pelaku memiliki akses langsung sekaligus kekuasaan simbolik terhadap kehidupan mahasiswa. Dalam konteks ini, relasi yang semestinya dilandasi tanggung jawab dan kepercayaan berubah menjadi hubungan subordinatif yang rentan terhadap manipulasi dan kekerasan simbolik. Korban pun terjebak dalam ruang ketakutan---takut akan penurunan nilai akademik, kehilangan beasiswa, atau menghadapi tekanan sosial yang mendiskreditkan suara mereka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual di kampus bukan hanya persoalan pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai etis dalam relasi sosial. Ketika kampus gagal membangun ekosistem yang menjunjung tinggi martabat manusia, maka kekuasaan cenderung tidak terkontrol, dan ruang akademik berubah menjadi arena dominasi.
Dalam kerangka ini, Kode Etik Profesi Dosen sejatinya telah memberikan landasan moral yang cukup kuat. Dosen dituntut untuk menjaga integritas, menjunjung tinggi profesionalitas, serta tidak menyalahgunakan relasi kuasa dalam interaksi dengan mahasiswa. Selain itu, hadirnya regulasi negara seperti Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) juga telah memberikan kerangka hukum yang jelas. Namun sayangnya, dalam praktiknya, kode etik maupun regulasi tersebut sering kali tidak diinternalisasi dengan sungguh-sungguh. Ia hanya dibacakan dalam seremoni pelantikan, lalu menghilang dalam rutinitas keseharian kampus.
Salah satu persoalan utama adalah minimnya pendidikan etika yang substantif bagi para pendidik. Pelatihan etika seringkali bersifat formalistik dan tidak menyentuh aspek reflektif serta relasional. Terutama bagi mereka yang memiliki kedekatan emosional dan akses terhadap kehidupan personal mahasiswa---seperti pengasuh asrama, pembimbing skripsi, atau pengelola program beasiswa---pelatihan ini seharusnya tidak hanya menyampaikan prinsip, tetapi juga mengasah sensitivitas moral dalam praktik nyata.
Oleh karena itu, reformasi dalam pembangunan human relation di lingkungan perguruan tinggi menjadi urgensi yang tak dapat ditunda. Pertama, pendidikan etika harus menjadi komponen wajib dan berkelanjutan dalam proses pengembangan profesi dosen. Etika bukan sekadar pengetahuan teoritis, melainkan kemampuan reflektif yang diwujudkan dalam laku harian dan relasi antarpersonal. Kedua, dibutuhkan sistem pelaporan yang aman, ramah terhadap korban, dan bebas dari intervensi kepentingan institusional. Saluran pengaduan yang baik harus menjamin kerahasiaan, mendampingi proses psikologis korban, serta memastikan adanya tindak lanjut yang tegas. Ketiga, pimpinan kampus harus memiliki keberanian untuk menegakkan nilai-nilai etik secara konsisten. Pelanggaran terhadap etika profesi bukan sekadar kesalahan individu, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap mandat moral institusi akademik.
Lebih jauh dari itu, seluruh sivitas akademika perlu menyadari bahwa human relation bukan hanya pelengkap dalam sistem pendidikan, tetapi inti dari keberlangsungan nilai-nilai akademik. Ia tercermin dalam cara dosen menyapa mahasiswa, dalam kepekaan institusi terhadap aspirasi warganya, serta dalam penyusunan kebijakan kampus yang mengedepankan keadilan, transparansi, dan empati. Kampus yang manusiawi bukanlah kampus yang bebas dari konflik, melainkan kampus yang memiliki mekanisme penyelesaian yang sehat dan berpihak pada nilai kemanusiaan.
Jika kita terus menempatkan relasi kemanusiaan sebagai aspek sekunder dalam pendidikan tinggi, maka kita berisiko mencetak lulusan yang unggul secara intelektual, namun kering secara etika dan empati. Sudah saatnya pendidikan tinggi Indonesia meletakkan human relation sebagai inti dari etika profesi, bukan hanya demi menjaga martabat kampus, tetapi juga demi memastikan bahwa ruang akademik adalah tempat yang aman, setara, dan bermartabat bagi semua penghuninya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI