Dolar hampir mencapai 15 ribu rupiah.
Tentu ini bukan kabar yang menggembirakan bagi rakyat Indonesia. Sebagai negara yang masih banyak ketergantungan dengan produk dari luar negeri, naiknya dolar berarti kenaikan harga.
Halah, makannya tahu tempe aja kok ikut mikir kenaikan dolar - ini candaan (celaan juga sih kadang) beberapa orang di medsos.
Entah mereka sadar atau tidak, jika kedelai bahan baku utama tempe belinya dari Amrik dan pakai dolar. Kalau harga bahannya naik, harga produk olahannya terancam naik juga.
Terus saya sebagai peternak ayam, bahan baku pakan ayam sebagian masih impor. Kemarin saja sudah ada kenaikan pakan 5 ribu per sak (50 kg). Kalau sampai dolar menyentuh 15 ribu ya pasti nambah lagi harganya.
Dampaknya harga daging ayam dan telur ikut naik (lagi).
Jadi naiknya dolar mengancam kenaikan harga, setidaknya untuk tempe dan telur. Makanan yang biasanya cukup terjangkau bagi kebanyakan rakyat Indonesia.
Namun, membandingkan saat ini dengan krisis moneter 98, jelas tidak tepat.
Era Orba yang penuh KKN membuat banyak perusahaan termasuk perbankan kondisinya rapuh. Begitu dihantam krisis langsung ambruk. Lha isinya kebanyakan garong. Apalagi dolar naiknya lebih dari dua kali lipat saat itu.
Memang sih bagi kelompok yang diluar pemerintahan krisis ekonomi atau permasalahan ekonomi akan jadi bahan jualan. Mereka menjual pesimisme terhadap pemerintah. Itu mah wajar. Namanya juga ingin berkuasa.
Tetapi sebagai rakyat, saya merasa kubu oposisi (beberapa sih oposisi jelang pemilu aja sih) juga tidak punya tawaran yang jelas untuk menghadapi permasalahan ekonomi yang ada.