Mohon tunggu...
Bambang Subianto
Bambang Subianto Mohon Tunggu...

Alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen (hobby menulis feature dan essay) kini menjadi Perencana dan evaluasi program di Dinas Perhubungan Kabupaten Kediri

Selanjutnya

Tutup

Money

Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan

30 November 2011   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bu Tati, Sekilas mirip bu Muslimah di novel Laskar Pelangi, tinggal di sebuah gang di Bandar Kidul, Mojoroto, Kota Kediri.

Kecintaannya pada sampah berbuah hasil, usaha pengolahan biji plastik yang semakin berkibar, membuka lapangan kerja untuk tetangga sekitar, akhirnya membuatnya terpilih sebagai pemuda pelopor Jawa Timur mewakili kota Kediri.

Bak artis, Bu Tati sibuk melayani wawancara dengan berbagai pihak, menghadiri undangan kesana kemari, yang membuatnya keteteran menjalankan usaha pengolahan sampahnya.

Seiring usaha yang terus berkembang, modal yang dibutuhkan juga menggelembung, dari sini gelagat ketidakberesan usaha mulai muncul. Pinjaman dari bank mulai terasa menyesakkan. Nunggak dua bulan.

Bersamaan dengan kesulitan permodalan ini info yang menyejukkan diterima dari pejabat pemkot Kediri. "Bu, ada info dana bantuan usaha untuk UKM, silahkan mengajukan proposal ke disperindag kota Kediri" ucap Bu Tati menirukan perkataan pejabat pemkot kala itu. Harapan tumbuh, semangat berusaha menyala kembali, bayangan modal untuk perputaran operasional pengolahan limbah plastik seakan sudah di depan mata, berita yang menyejukkan ditengah kekeringan modal, membuat bu Tati kembali bisa bernapas lega, seperti anak kecil yang hilang dikeramaian massa dan menemukan kembali orang tuanya .

Janji sebatas janji, ucapan yang indah terdengar tapi menyakitkan di hati. Apa yang disampaikan pejabat dari pemkot kediri seperti halilintar yang meluluhlantakkan tulang sendi Bu tati. Bagaimana tidak bantuan modal usaha yang sangat dinantikan tersebut, harus melalui prosedur yang berbelit. Ada pungutan liar di setiap 'meja birokrasi' yang harus dilewati. Dana saja belum diterima kok tega-teganya aparat yang mengaku pelayan masyarakat men'target' satu juta permeja per pencairan.ironis.

Genangan air mata yang berkaca-kaca di danau penglihatan bu Tati yang berpagar bulu alistak kuasa lagi menahan bulir air mata, tetes demi tetes mengalir membasahi pipi bu Tati, isak tangisnya sejenak memecah keheningan di sela-sela percakapan kami. Kejadian begitu cepat, aku tidak menyangka pertanyaan demi pertanyaan yang aku tujukan ke Bu Tati menghidupkan kembali kenangan pilunya di masa lalu. Aku jadi tidak enak. Tidak bisa berkata apa-apa, hanya maaf aku utarakan bila ada sesuatu yang menyinggung perasaannya.

"tidak apa-apa mas, saya dan suami berusaha sabar menghadapi ini semua, hanya kadang saya merasa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, dengan kerja keras,saya dipercaya mewakili Kediri, terpilih sebagai pemuda pelopor Jawa Timur, namun nyatanya perlakuan yang saya dapat seperti ini, proposal saya dilempar kesana kemari, padahal untuk membuat proposal itu juga pake dana pribadi" sesal Bu Tati.

Cobaan kesulitan modal tersebuttidak berbenti di sini, cobaan lain datang. Seseorang mengaku putra pemilik bank mendatangiBu Tati dan berjanji bisa membantu melunasi hutang-hutang Bu Tati dan mendapatkan permodalan baru. Sejumlah uang dia minta ke Bu Tati untuk meluluskan rencananya itu. Rupiah demi rupiah dikeruk dari Bu Tati tanpa ia sadari. "saya seperti orang linglung mas, kena gendam, minta uang berapa saja orang itu saya kasih, saya dan suami baru sadar setelah jutaan rupiah kami keluarkan" kenang bu Tati.

Gelas eksportir biji plastik terbesar se Kediri yang dulu bersemat pada Bu tati dan suami, menguap tinggal kenangan, hanya menyisakan dinding gedek dan beberapa gelas plastik yang berserakan di teras belakang rumah bekas tempat produksi. Secepat itu kehidupan berubah. Usaha yang sempat berjaya di tahun 2005 s.d 2010, menyerap banyak tenaga kerja dan digadang-gadang sebagai industri rumah tangga teladan, kini tergelincir, terperangkap dalam manajemen keuangan yang sulit.

Bu Tati, pahlawan sampah kota kediri, namanya tenggelam seiring tenggelamnya usaha pengolahan sampahnya,entah kemana peran pejabat pemkot yang seharusnya menjadi orang tua bagi Bu Tati atau pengusaha-pengusaha lokal lainnya. Kemegahan gedung walikota hanya menjadi perlambang wibawa yang kosong, tidak ada kepedulian untuk mengulurkan tangan, mengangkat pengusaha-pengusaha lokal yang sedang terperosok di lembah kebangkrutan. Gedung walikota hanya rumah sementara aparatur untuk bermanja-manja dengan 'kesibukannya''musyawarahnya' namun tidak terlihat output dan outcome dari kinerjanya. Yang terjadi bu Tati dan mungkin banyak lagi nasib pengusaha lokal seperti Bu Tati, mendapat kedzaliman dari aparatur-aparatur yang tidak amanah.

Itulah sepenggal kisah bu Tati. Kecintaannya kepada sampah bertepuk sebelah tangan. Tidak mendapat respon dari pemkot Kediri.

Perlu diketahui saat ini Pemkot Kediri sedang mencari solusi untuk mengentaskan sampah." Silahkan dikerjakan sendiri Pak Wali, kok telat banget sih…"(saya menirukan uacapan bu Tati).

Tulisan ini saya buat hanya untuk menyambungkan aspirasi masyarakat. Siapa tahu ada pihak yang terkait langsung dan mau menanggapinya.

Kediri, 27 November 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun