Saat kami melewati desa-desa tersebut, kami melihat beberapa anak sedang bermain. Ketika kami panggil, mereka berhamburan datang. Awalnya malu-malu, tetapi ketika tahu kami memberi mereka makanan, anak-anak lain pun ikut mendekati mobil dan minta diberi makanan pula.Â
Ada juga yang meminta uang, tapi kami tolak. Mereka nampak senang sekali menikmati biskuit yang kami berikan, walaupun untuk orang-orang yang hidup berkecukupan biskuit itu mungkin tidak ada artinya.
Setelah berkendara satu jam lebih, kami akhirnya tiba di desa adat Ratenggaro. Setelah membayar tiket masuk, kami berjalan memasuki desa adat itu. Dari kejauhan kami bisa melihat atap rumah-rumah mereka yang menjulang tinggi. Menurut penjelasan penduduk di kampung adat tersebut atap rumah mereka memiliki ornamen tertentu yang bentuknya menunjukkan laki-laki dan perempuan.Â
Sebelum memasuki desa kita bisa melihat kubur batu yang berjajar di sepanjang jalan menuju desa. Di desa tersebut kita bisa melihat para ibu duduk di bale-bale di rumah mereka menawarkan kain tenun dan ada juga para bapak yang menawarkan ukiran khas Sumba.Â
Ketika kami jalan menuju belakang ke bagian yang menghadap pantai, mulailah muncul anak-anak yang mulai memaksa kami untuk membeli kalung atau naik kuda. Mereka juga menawarkan jasa untuk mengambil foto. Kata-kata yang digunakan sama dan diulang berkali-kali. Kita harus sabar menghadapi mereka. Kasih saja senyum dan katakan 'tidak' jika memang tidak mau.
Pemandangan ke pantai indah sekali. Air lautnya berwarna hijau tosca dengan pasir putihnya. Cantik luar biasa. Beruntung sekali orang-orang yang sehari-harinya mendapatkan pemandangan indah tersebut. Kami sempat juga bercakap-cakap dengan mereka dan bertanya ini itu pada mereka. Pengetahuan baru kami dapatkan dari mereka.