Mohon tunggu...
Humaniora

Filosofi Pendidikan: Pendidikan Filosofis

19 April 2017   19:49 Diperbarui: 19 April 2017   19:58 3369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari di Kota Athena, sekitar 2500 tahun yang lalu, seorang teman Socrates, Oracle Delphi mendengar suara gaib yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana selain Socrates. Merasa tidak bijak, Socrates berkeliling mendatangi orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat untuk diajak diskusi tentang kebijaksanaan. Dalam metode bertanya dan diskusinya, Socrates berharap dapat melahirkan pengetahuan dari diskusi panjang dan mendalam dengan orang-orang yang dianggap bijaksana tersebut. Socrates selalu mengejar definisi satu masalah, walaupun banyak dari orang-orang yang didatanginya gagal menghasilkan definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib yang didengar kawannya bahwa ia mungkin adalah manusia paling bijaksana karena ia tahu bahwa ia tidak bijaksana, sedangkan orang yang merasa bijaksana pada dasarnya tidak bijaksana karena mereka tidak tahu bahwa mereka tidak bijaksana.

Socrates merupakan tokoh yang paling penting, peletak batu pertama filsafat barat. Kebiasaan Socrates dalam bertanya dan berdiskusi untuk mendapatkan suatu ide sering kali disebut sebagai metode Sokratik atau Socratic Method. Rasa ingin tahu, dan selalu ingin mempertanyakan segala hal merupakan pokok hal yang bisa kita ambil dari Socrates. Ilmu pun tumbuh dari pertanyaan, dan keingintahuan yang menggugat keyakinan, menyingkap ketidaktahuan. Inilah yang menurut Socrates akan melahirkan Kebijaksanaan, inti dari pencarian ilmu pengetahuan. Hakikat inilah yang hari ini sepertinya dilupakan orang: kebijaksanaan mensyaratkan pengetahuan, dan pengetahuan mensyaratkan keingintahuan. Ingin tahu bukan lagi yang utama, sebab ia tak membawa manfaat langsung yang secara instan bisa dirasakan oleh orang-orang.

Ilmu pengetahuan dalam pendidikan Indonesia saat ini masih sekedar objek pembelajaran formal saja. Pelajar menuntut ilmu dari TK sampai Perguruan Tinggi untuk tujuan praktis. Sebagai gambaran, seorang siswa SMP sangat giat belajar Matematika dan IPA agar dapat diterima di SMA terbaik yang nantinya akan mengantarkan ke Perguruan Tinggi terbaik untuk selanjutnya setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi dan terpandang. Kesungguhan dalam belajar dari anak-anak tersebut memang tinggi, kompetisi diantara mereka memang sengit dan menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dan pintar. Tapi proses ini meleset dari tujuan asli menuntut ilmu yaitu menjawab rasa ingin tahu, menjadikan insan yang bijaksana. Tujuan ilmu yang sudah bergeser menjadi kebutuhan praktis ini menimbulkan kedangkalan dalam cara berpikir.

Kedangkalan dalam berpikir ini disebabkan oleh ketidakbutuhan akan kedalaman pengetahuan. Seseorang akan memahami sesuatu secara mendalam apabila memang secara murni ia memiliki rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu ini yang mendorong seseorang untuk terus mencari jawaban. Maka sangat wajar apabila tanpa rasa ingin tahu, sesungguhnya seseorang tidak sedang mencari jawaban, tidak sedang mendalami pengetahuan. Inilah krisis dalam pendidikan kita hari ini, tidak berpikir secara mendalam, secara filosofis. Berpikir filosofis telah lama luput dari fokus pendidikan Indonesia. Keutamaan dari berpikir filosofis adalah kebijaksanaan yang ia tuju sebagai the final goal. Kebijaksanaan, dalam bahasa Yunani, Sophia, adalah karakter utama seorang terpelajar, mengingatkan pada pesan tersirat Pramoedya dalam Bumi Manusia “Seorang terpelajar sudahlah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Adil sejak dalam pikiran adalah kearifan yang merubah keterbelakangan orang tak berpengetahuan menjadi insan yang maju dan bijaksana.

Karakter harus dibangun dari kebijaksanaan. Seperti Socrates, kebijaksanaan lahir dari keingintahuan. Orang yang berkarakter harusnya adalah orang yang selalu memiliki kehausan akan hal baru, akan pengetahuan, akan jawaban. Budaya bertanya inilah yang harus ditanamkan. Jangan biarkan keluguan anak-anak kecil mempertanyakan pesawat terbang dipatahkan dengan menyodorkan mereka buku teks fisika mekanik. Einstein awalnya pun adalah seorang yang lugu, namun kita sama-sama tahu ia fisikawan terbesar abad 20. Thomas Alfa Edison kecil seringkali mempertanyakan hal-hal sepele yang mengganggu benaknya sesederhana alasan mengapa ayam berbulu. Edison kecil merasa ia bodoh karena perlakuan guru dan temannya yang mengganggap pertanyaannya tidak masuk akal. Namun kita tahu ialah yang kemudian menemukan bola lampu yang sampai hari ini menerangi seluruh bumi.

Einstein dan Edison bukan hanya jenius, mereka juga orang yang bijak. mereka menyumbangkan ilmunya untuk kemaslahatan umat manusia. Kehebatan Einstein dan Edison dilahirkan dari proses mendapatkan pengetahuan (acquiring knowledge) yang benar. Mereka adalah contoh pemikir filosofis di dunia sains. Disinilah letak pentingnya menjadi bijaksana, ia lebih dari sekedar tahu. Bijaksana adalah menyadari bahwa ada lebih banyak lagi hal yang kita tidak tahu, dan dengan begitu kita akan menjadi pribadi yang rendah hati.

Pendidikan Indonesia harus belajar lebih banyak untuk bisa menumbuhkan kebijaksanaan, tapi yang utama adalah menilik kembali kebutuhan akan rasa ingin tahu. Bisa dikatakan saat ini kita krisis keingintahuan. Orang Indonesia cepat merasa tahu, tanpa penggalian lebih lanjut menjadikannya sempit dan dangkal. Hal ini tidak sehat apalagi Indonesia adalah negara yang sangat bhinneka, sangat beragam tiap masyarakatnya. Dengan kesempitan berpikir, orang menjadi jauh dari bijaksana, sehingga toleransi terhadap perbedaan pun rendah. Prasangka adalah salah satu turunan ketidakbijaksanaan yang paling berbahaya bagi kebhinnekaan bangsa ini. Prasangka adalah bibit konflik yang akan merusak harmoni dalam diversitas yang ada di Indonesia. Kebijaksanaan kembali lagi menjadi permasalahaan utama, dan akarnya adalah tidak adanya rasa ingin tahu.

Negara-negara maju telah lama mengenali permasalahan ini dan mulai menerapkan program pendidikan filsafat sejak dini. Organisasi di Inggris bernama The Philosophy Foundation adalah contoh penerapan pengajaran filsafat di kelas. Inggris mulai mendidik anak-anak mereka (usia playgroup) untuk mengenali dasar-dasar berpikir filosofis. Metodenya tidak seperti yang biasa kita jumpai dalam kelas filsafat pada umumnya (Filsafat Yunani, Modern, dsb), namun merupakan mengenalan ide dasar dari filsafat: seni bertanya. Anak-anak kecil yang masih lugu ternyata dapat mengajukan pertanyaan yang jauh di luar perkiraan orang dewasa ketika disodorkan sebuah pemicu oleh pengajar. Hal ini karena anak-anak adalah bentuk murni manusia ketika belum terkonstruksi sedemikian rupa oleh faktor-faktor sosial. Emma dan Peter, CEO/Founder dari The Philosophy Foundation, menyatakan pengajaran filsafat di sekolah bukan hanya mempertajam kognisi pada level individu, namun juga memberikan keuntungan sosial dengan memiliki masyarakat yang bisa berpikir kritis dan koheren. Keuntungan sosial yang dimaksud adalah hubungan antar masyarakat yang harmonis dan terhindar dari konflik sebab kesempitan dan prasangka bisa dikikis dengan menerapkan pengajaran filsafat di sekolah-sekolah.

Melihat contoh dari negara-negara tersebut Indonesia seharusnya belajar dan segera mencontoh program pendidikan filsafat sejak dini tersebut. Karena selain menghasilkan masyarakat yang berpikir kritis dan koheren, juga dapat melahirkan situasi sosial yang harmonis, penuh toleransi, dan saling menghargai. Isu SARA dan konflik yang ada di Indonesia melalui pendidikan ini bisa sedikit demi sedikit dikikis, dan di masa depan generasi tersebut dapat lebih jernih memandang masalah dan tidak gampang terjebak purbasangka dan cara berpikir yang dangkal. Manusia Indonesia haruslah menjadi manusia yang bijaksana, manusia-manusia yang adil, yang berkeingintahuan, dan selalu mempertanyakan, seperti Socrates yang mengembara keliling kota Athena, Indonesia yang luas dan bhinneka, membutuhkan filsafat.

Sumber: 

https://aeon.co/videos/teaching-philosophy-at-school-isnt-just-good-pedagogy-it-helps-to-safeguard-society

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun