Mohon tunggu...
GERBANG MUNTE
GERBANG MUNTE Mohon Tunggu... Wiraswasta - WILL BE

biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi yang Terlupakan

30 Juni 2020   12:41 Diperbarui: 30 Juni 2020   12:37 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai dengan saat ini korupsi adalah Sesuatu yang sangat menakutkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan, korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi criminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang.

Korupsi menurut persfektif hukum secara jelas disebutkan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk/jenis tundak pidana korupsi, pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang dapat dipidana korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • Kerugian uang negara
  • Suap-menyuap
  • Penggelapan dalam jabatan
  • Pemerasan
  • Perbuatan curang
  • Benturan kepentingan dalam pengadaan
  • Gratifikasi

  • Korupsi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, oleh karena itu pemahaman korupsi sering diartikan dengan uang. Di Indonesia, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dikarenakan tindakan korupsi disamping merugikan keuangan negara tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
  • Dalam penggunaan bahasa yang tidak baku, korupsi bisa juga terjadi pada "waktu" seperti penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi. Sering terjadi fenomena yang sangat memprihatinkan terjadi di instansi pemerintah, disaat jam kerja banyak kantor atau instansi pemerintah yang kosong disebabkna karyawan/pegawainya pergi meninggalkan jam kerja, sementara disisi lain masyarakat membutuhkan jasa para abdi negara tersebut tetapi apa boleh buat masyarakat hanya mampu mengelus dada dan gigit jari sebab pegawai instansi yang bersangkutan tidak berada di tempat.
  • Korupsi waktu masih menjadi permasalahan yang pelik terkhusus dikalangan Pegawai Negeri Sipil, korupsi waktu masih dianggap hal yang biasa, makanya tidak sedikit dijumpai PNS yang tidak menghargai waktu dan datang bekerja hanya sekedar mengisi absen (Finger Print). Korupsi waktu dikalangan PNS seolah sudah menjadi budaya yang sulit untuk dirubah. Pemerintah tetap berusaha untuk menggenjot kinerja para biroraksi termasuk merubah jam kerja PNS dari lima hari kerja menjadi enam hari kerja, memberikan tunjangan kinerja. Namun kenyataannya korupsi waktu dikalangan PNS tidak mengenal takut meski ada Kepres Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari kerja Dilingkungan Pemerintah, PP 53 Tahun 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil dan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
  • Pemahaman korupsi yang salah bagi PNS  mengakibatkan banyaknya PNSyang korupsi waktu, padahal korupsi waktu sejatinya juga merugikan keuangan negara, negara tetap membayar gaji dan tunjangan kinerja  dengan penuh walapun PNS yang bersangkutan hanya mengandalkan kehadiran pagi dan sore hari untuk sekedar mengisi absen baik manual atau elektronik.
  • Persoalan ini seolah tidak ada habisnya bahkan cenderung meningkat apalagi dengan jumpal PNS yang saat ini hampir 4.2 juta orang tidak sebanding dengan produktivitas yang diharapkan, akhirnya negara setiap bulan rugi hanya untuk membayar gaji dan tunjangan kinerja PNS untuk datang sekedar absensi. Pejabat baik tingkat satuan kerja yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak justru banyak pejabaat yang justru jadi biang kerok menurunnya produktivitas kerja PNS.  Pejabat yang diharusnya menjadi motor penggerak justru banyak meninggalkan tempat kerja pada jam kerja dengan berbagai alasan.
  • Secara umum berdasarkan aturan dan undang-undang tentang PNS sudah cukup memadai untuk mejadikan PNS yang professional dan produktif, persoalan yang mendasar adalah bagaimana mengimplementasikan dilapangan, pemerintah harus lebih ektra bekerja dan merumuskan formula bagaimana meningkatkan produktivitas PNS sehingga kedepan tidak lagi ditemukan korupsi waktu di kalangan apratur pemerintah.Beberapa hal yang perlu dilaksanakan pemerintah yakni mengadakan perampingan aparatur negara dengan tidak mengadakan pembukaan CPNS terkhusus struktural, membuat uraian kerja bagi PNS secara akurat dan terukur, menempatkan pegawai sesuai dengan bakat dan kemampuan, dan paling utama melaksanakan seleksi terbuka bagi calon pejabat secara akuntabel dan transparan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun