Suatu sore di jantung Jakarta, tatkala gerahnya cuaca membuatmu berpeluh di sekujur pori-pori tubuh, beberapa orang anak laki-laki dan seorang anak perempan bermain sepak bola.
Layaknya dalam permainan, mereka berlari, mengejar bola, sambil bersorak-sorak riuh rendah. Tentu tak sulit untuk mereka berlarian, tanah lapang tempat mereka bermain itu cukup menampung semua pemain yang total 22 orang anak. Luasnya kurang lebih 70 meter persegi.
Ada dua buah gawang dengan penjaganya, di masing-masing sudut lapangan. Di balik gawang sebelah kiri, menjulang tumpukan yang kira-kira tiga meter setengah tingginya.
Melangkah ke gundukan tersebut, saya bisa merasakan bau tidak biasa yang merebak. Menyengat seketika. Udara seperti mengantarkan berbagai makanan ke depan muka saya sekarang: nasi bungkus, ayam goreng, ikan asin, sayuran, kue kering, pisang. Hanya saja semuanya yang sudah busuk.
Kita menyebutnya, tempat pembuangan sampah. Bagi mereka ini adalah rumah. Tempat tinggal, tempat bermain.
Eri, si anak perempuan satu-satunya tiba-tiba terdengar memekik gembira. Ia baru berhasil mencetak sebuah gol ke gawang lawan. Dengan cengiran lebar di wajahnya yang coreng-moreng oleh debu entah karena berguling di mana, Eri menghampiri saya. “Kak, foto! GOL!” serunya sambil jejingkrakan.
Matahari nampak mulai terbenam saat anak-anak menyudahi permainan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H