Mohon tunggu...
Eric
Eric Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya menyukai naik gunung (Hiking)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sosiologi Komunikasi: Media Sosial Sebagai Ruang Publik Baru

29 April 2025   03:10 Diperbarui: 29 April 2025   03:10 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Media sosial sering dipuji sebagai ruang publik baru yang menjanjikan demokratisasi informasi dan suara rakyat. Namun, apakah media sosial benar-benar menciptakan ruang diskusi yang terbuka dan setara, atau justru menjadi alat baru dalam komunikasi massa. Dalam konteks sosiologi komunikasi, penting untuk mengkaji media sosial tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai arena pertarungan ideologi dan kekuasaan.

Media Sosial dan Ruang Publik

Habermas membayangkan ruang publik sebagai tempat di mana warga negara bisa berdiskusi secara rasional dan kritis tentang isu-isu sosial dan politik. Dalam idealnya ruang publik ini harus bebas dari dominasi negara. semua orang bisa membuat konten, menyuarakan opini, dan ikut berdiskusi. Namun kenyataannya, ruang publik digital ini sering kali dikendalikan oleh logika algoritma, platform kapitalis, dan polarisasi opini. Diskusi yang terjadi tidak selalu rasional dan inklusif, tetapi sering didorong oleh emosi, sensasi, dan klikbait. media sosial sering kali menjadi ruang konflik, misinformasi, dan dominasi opini mayoritas. Akibatnya kualitas demokrasi digital menjadi dipertanyakan.

Perlawanan dan Alternatif

Meski demikian, tidak berarti masyarakat sepenuhnya pasif. Banyak gerakan sosial dan aktivisme digital bermunculan melalui media sosial seperti, #FreePalestine, #ReformasiDikorupsi. Ini menunjukkan adanya ruang resistensi dan peluang untuk menciptakan kontra hegemoni di dalam sistem yang hegemonik. Gerakan ini memanfaatkan celah dalam sistem menggunakan media sosial untuk membangun solidaritas, menyebarkan wacana tandingan, dan menciptakan ruang publik alternatif yang lebih kritis. Namun tantangannya adalah bagaimana membuat diskusi tetap substansial, menghindari polarisasi, dan tidak hanya viral sesaat. Ini membutuhkan literasi digital yang tinggi dan kesadaran kritis dalam menggunakan media sosial.

Media sosial membawa harapan baru sebagai ruang publik yang demokratis, namun juga menyimpan bahaya laten sebagai alat hegemoni kekuasaan dan kapitalisme digital. Dari perspektif sosiologi komunikasi kritis, media sosial harus dilihat sebagai arena perjuangan antara kontrol dan kebebasan, antara dominasi dan resistensi. Kita sebagai pengguna tidak hanya penerima informasi, tetapi juga bagian dari sistem komunikasi yang bisa mereproduksi atau menantang struktur yang ada. Maka, memahami logika kerja media sosial secara kritis adalah langkah awal menuju penggunaan yang lebih sadar, adil, dan membebaskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun