KOMPASIANA – Jepang kembali menjadi sorotan setelah ribuan warganya turun ke jalan memprotes rencana pemerintah menerima lebih banyak imigran dari India. Demonstrasi pekan lalu mencerminkan kegelisahan publik terhadap kebijakan pemerintah Jepang yang lahir dari masalah serius yaitu populasi yang menua, angka kelahiran rendah, serta kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor vital.
Namun, rencana ini langsung menuai penolakan. Ribuan warga turun ke jalan di Tokyo dan Osaka, membawa spanduk dan menyuarakan kekhawatiran. Pemerintah sendiri menegaskan bahwa diperlukannya tenaga kerja asing.
“Japan must discuss the cap on foreign residents to balance our demographic needs with social stability.” ucap Menteri Kehakiman Jepang, Ryuji Koizumi, dikutip dari Reuters (29 Agustus 2025). Pernyataan ini menunjukkan dilema yang dihadapi oleh Jepang dimana satu sisi membutuhkan pekerja migran, tapi di sisi lain harus menjaga kestabilan sosial.
Adapun pernyataan dari kalangan akademisi datang dari Naoko Hashimoto, profesor sosiologi di Universitas Tokyo. Ia menilai bahwa “Japan’s debate on immigration reflects deeper anxieties about identity, not just economics” (The Japan Times, 2025). Hal ini menjelaskan bahwa keresahan warga Jepang bukan semata soal ekonomi, melainkan juga soal identitas dan budaya yang mereka takutkan hilang.
India dipilih karena dianggap punya populasi muda dengan tenaga kerja terampil di bidang teknologi dan manufaktur. Namun, resistensi publik menunjukkan bahwa imigrasi masih menjadi isu sensitif di Jepang yang homogen.
Fenomena seperti ini menjadi gambaran bahwa kebijakan migrasi tidak bisa hanya dipandang dari sisi ekonomi. Setiap negara yang membuka pintu imigrasi harus mempertimbangkan faktor sosial dan budaya yang melekat pada masyarakatnya. Kasus Jepang menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja harus berjalan beriringan dengan upaya menjaga stabilitas sosial.
Protes yang muncul menggambarkan kedilemaan pada satu sisi pemerintah membutuhkan pekerja asing untuk menyelamatkan produktivitas, tetapi di sisi lain masyarakat merasa identitas dan tatanan sosial mereka terancam. Situasi ini menegaskan bahwa migrasi selalu menjadi isu kompleks, di mana kepentingan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan budaya dan politik domestik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI