Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Budaya Balas Dendam Setelah Gajian: Self Reward atau Sekedar Pelarian?

2 Oktober 2025   06:49 Diperbarui: 2 Oktober 2025   06:49 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang yang Sedang Berbelanja (Sumber foto: pexels.com/Anastasia Shuraeva)

Ada sebuah ritual yang diam-diam disepakati banyak orang di tanggal-tanggal tertentu: self reward di hari gajian. Begitu angka-angka saldo di rekening tiba-tiba menggendut, atmosfer sosial juga tiba-tiba ikut berubah. Restoran dan mal panen besar-besaran, dimana-mana tempat penuh dengan manusia yang membawa kantong belanja, e-commerce kebanjiran orderan, bahkan pemilik warung kopi di dekat kantor pun tersenyum lebih lebar karena omzetnya mendadak naik pada tanggal-tanggal tertentu itu.

Fenomena konsumtif musiman ini di kalangan masyarakat lazim disebut “balas dendam setelah gajian.” Dalam beberapa hari, tiba-tiba orang-orang ‘rajin’ berbelanja apa saja. Belanja barang-barang wishlist yang selama ini ditahan-tahan, memanjakan lidah dan perut dengan makanan-makanan yang enak dan mahal, atau bahkan langsung ambil cicilan dan DP gawai keluaran terbaru. Dalihnya? Self reward, tentu. Tapi pertanyaannya, apakah benar itu bentuk apresiasi diri, atau jangan-jangan cuma pelarian dari suntuknya rutinitas yang selama ini terasa mencekik?

Apresiasi atau Alibi?

Hari-hari ini di media sosial, kita sering kali melihat unggahan-unggahan yang bertuliskan “you deserve it” atau “treat yourself” yang disandingkan dengan foto-foto makanan dan barang-barang yang harganya mahal. Ada juga yang menyandingkannya dengan foto selfie di sebuah club bersama teman-teman satu gengnya, atau foto dan video keseruan menghadiri konser-konser artis ternama bersama pacar atau crush-nya. Entah siapa yang memulai, tapi seolah ada semacam narasi global yang melegitimasi perilaku konsumtif gila-gilan semacam itu sebagai bentuk cinta pada diri sendiri.

Padahal, konsep self reward yang sebenarnya dan pada awalnya adalah sebuah metode sederhana dalam ilmu psikologi, yaitu kegiatan memberi hadiah-hadiah kecil pada diri sendiri setelah berhasil mencapai sebuah target dalam hidup. Tujuan dari metode tersebut adalah untuk mensugesti otak agar membentuk sebuah asosiasi positif dan motivasi yang terjaga lebih lama setelah menerima hadiah kecil tersebut. Contoh kecilnya misalnya kita membuat sebuah rencana atau target kecil, seperti jika kita berhasil bangun pagi selama seminggu penuh, maka bantuk hadiah yang akan diberikan kepada diri sendiri adalah mentraktir diri sendiri dengan kopi kesukaan kita.

Tapi di era kapitalisme dan serba digital seperti saat ini, konsep self reward digeser oleh para pemilik brand-brand besar menjadi sebuah trik untuk mendongkrak pemasaran produk mereka. Brand-brand besar ini paham betul bagaimana mengemas kalimat bertema self reward sebagai pintu masuk ke dalam siklus konsumsi masyarakat masa kini, utamanya anak-anak muda yang selalu hectic dan tingkat stress yang amat tinggi. Akhirnya, kata reward bukan lagi merujuk tentang sebuah ganjaran akibat sebuah pencapaian, melainkan tentang bagaimana cara tercepat melampiaskan kelelahan akibat himpitan masalah-masalah hidup.

Budaya Balas Dendam yang Super Konsumtif

Fenomena "balas dendam setelah gajian" bukan sekadar soal membeli barang impian atau makanan enak dan mahal. Fenomena ini bisa juga dimaknai sebagai sebuah bentuk protes dan kompensasi brutal atas ketidakpuasan yang terakumulasi dari rutinitas kerja selama sebulan ke belakang.

Lelah karena jam kerja yang tidak jelas, atasan-atasan yang arogan dan menyebalkan, dan target-target yang tidak masuk akal sama sekali. Semua emosi negatif itu ditumpuk di dalam batin dalam waktu yang lama. Sekuat tenaga menahan bibir agar tidak berteriak atau berkata-kata kasar. Lalu tiba saatnya pada hari gajian, semua ‘sampah batin’ itu dilepaskan dalam satu tindakan simbolik: belanja, belanja, dan belanja!

Mirip seperti orang yang menahan lapar seharian karena tidak memiliki apapun untuk dimakan, lalu diundang ke sebuah acara dan kalap di meja prasmanan. Alih-alih mengendalikan pengeluaran dan menyusun rencana untuk sebulan ke depan, yang terjadi justru sebaliknya. Pengeluaran mendadak membengkak, kadang sampai lupa menyisihkan untuk cicilan dan kebutuhan-kebutuhan pokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun