Mohon tunggu...
Money

Transaksi yang Terlarang

11 Oktober 2017   00:34 Diperbarui: 11 Oktober 2017   00:50 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Artikel ini berisi tentang transaksi yang terlarang dalam Islam, yang saat ini banyak yang terjadi dikehidupan nyata, dan masih banyak yang belum mengetahui bagaimana hukumnya. Tujuan penulisan artikel ini adalah memberikan pengetahuan kepada manusia yang masih menggunakan transaksi yang diharamkan dan sangat merugikan orang lain. 

Seperti yang telah kita ketahui, beraneka macam transaksi didunia ini. Ada juga dalam melakukan transaksi yang dilarang oleh hukum Islam. Transaksi apakan itu? Transaksi yang seperti apa?. Transaksi ini sudah tidak asing lagi, banyak didengar dan dikenal orang manapun, yaitu 'Riba'. Jika memang transaksi ini dilarang atau diharamkan, kenapa masih banyak yang melakukan transaksi riba ini?. Disini penulis akan membagi sedikit pengetahuan tentang riba.

Riba secara bahasa bermakna tambahan. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Wahbah Az-Zuhaili (1989) menjelaskan bahwa menurut imam Hambali, riba adalah tambahan pada sesuatu yang dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan riba sebagai melebihkan harta dalam suatu transaksi tanpa pengganti atau imbalan (M. Nur Rianto, 2015:149). Secara umum, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dan aturan syariat Islam.

Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan Islam, yaitu riba nasi'ah dan riba fadhl. Riba nasi'ah berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada penghutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan. Jadi, riba bentuk ini mengacu pada bunga pada utang (M. Nur Rianto, 2015:150). Riba tersebut dapat ditemukan dalam segala jenis kredit, pinjaman yang diberikan kepada seseorang dengan membayar bunga setiap bulan melebihi dari jumlah pinjaman pokok.

Sedangkan riba fadhl ialah kelebihan pinjaman yang dibayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang sama jenisnya, misalnya gandum dengan gandum atau anggur dengan anggur, dan sebagainya (Afzalur Rahman jilid 3, 1996:86-89).

Dari penjelasan di atas, penulis memberikan salah satu contoh tentang riba yang telah populer di negara kita yaitu pinjaman uang atau hutang di bank. Si A meminjam uang di bank konvensional sebesar Rp 10 juta untuk membuka usahanya. Dan melakukan akad tertulis resmi dari bank. Ketika melunasi pinjaman tersebut maka ada harta (uang) tambahan untuk membayar hutang pinjaman di bank. Pinjaman itu dibayar selama 2 tahun sebesar  Rp 500.000 setiap bulan. Jadi, total pembayaran tersebut sebesar Rp 12.000.000. Uang sebesar Rp 2.000.000 tersebut termasuk riba, dan belum lagi jika si peminjam telat membayar hutang di setiap bulannya akan ada bunga atau biaya tambahan lainnya. Transaksi riba ini termasuk riba nasi'ah.

Rumusan riba nasi'ah yang dikemukakan oleh para ulama Fiqh itu, bila dibandingkan dengan rumusan itu dapat diketahui bahwa riba nasi'ah mempunyai unsur:

  • Terjadi karena peminjam dalam jangka waktu tertentu.
  • Pihak yang berhutang berkewajiban memberi tambahan kepada pihak pemberi hutang ketika mengangsur atau pelunasan, sesuai dengan perjanjian.
  • Objek peminjaman berupa benda ribawi. (Muh. Zuhri, 1996:109)

Islam menganggap riba sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomis, sosial maupun moral. Oleh karena itu, kitab suci Al-Qur'an melarang kaum muslim untuk memberi ataupun menerima riba. Tetapi karena kejahatan ini sangat berakar dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, maka hukum mengenai hal itu diperkenalkan secara berangsur-angsur untuk menghindari hal-hal yang tidak mengenakan dan menyinggung masyarakat (Afzalur Rahman jilid 4, 1996:130).

Larangan riba muncul dalam Al-Qur'an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda. Yang pertama (ar-Ruum: 39) diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa riba akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan mengingatkannya berlipat ganda. Yang kedua (an-Nisaa': 161) diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya pada kitab-kitab terdahulu. 

Yang ketiga (Ali Imran: 130-132) diturunkan pada kira-kira tahun kedua atau ketiga hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan. Yang keempat (al-Baqarah: 275-281) diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah saw, mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengiklaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan. Dan Rasulullah saw. Juga mengutuk, dengan menggunakan kata-kata yang sangat terang, bahkan saja mereka yang mengambil riba, tetapi juga mereka yang memberi riba dan para penulis yang mencatat transaksi atau para saksinya (M. Umer Chapra, 2000:21).

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun