Burhanuddin Mohammad Diah atau biasa dikenal dengan B.M Diah adalah seorang jurnalis, diplomat, dan pengusaha Indonesia, yang menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia ke-18 dari tahun 1966 hingga 1968. B.M Diah  lahir di Banda Aceh pada 7 April 1917.Â
Nama asli B. M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatera Utara. Burhanuddin menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah.Â
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama ayah Burhanuddin) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari delapan bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Ayah Burhanuddin, Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika Burhanuddin lahir, ia tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.Â
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun, delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah ini diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli. Kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar dibawah asuhan guru-guru Belanda.Â
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jawa dan belajar di Ksatrian Instituut di Bandung yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan secara pribadi dari Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.Â
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri yaitu bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama ia pun merangkap bekerja di Asia Raja sebagai pembantu editor. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari. Â